Rabu, 14 Oktober 2009

Mana Ayahku

oleh: Thera Febrika NF

Ibu ingin menikah lagi? Apa-apaan ini? Baru kemarin ibu diceraikan oleh suami ketiganya, kini ia berkata bahwa ia baru saja menemukan bakal calon ayah baru untukku? Tidak ada masalah bagiku ibu mau menikah dengan siapa saja ataupun berapa saja, namun sampai sekarang, aku sendiri belum jelas siapa ayahku sebenarnya. Konon ibu pernah bercerita, ayahku adalah lelaki pertama yang ia ‘kawini’ bukan ‘nikahi’. Aku adalah anak dari lelaki tidak sah ibu. Ibu pernah bercerita sedikit tentang ayah dan mengapa ayah lebih memilih pergi ketimbang menikahi ibuku yang saat itu sedang mengandung aku. Kata ibu, ayah adalah seorang pekerja keras, pekerjaannya tidak tetap, ia selalu berpindah-pindah, dari tempat satu ke tempat lain. Itulah mengapa ayah tidak siap menjadikan kami satu keluarga. Ibu menceritakan itu semua dengan mimik muka yang sangat datar. Tidak ada goresan rasa sedih atau kekecewaan saat menceritakannya. Akupun tidak tahu kenapa bisa seperti itu.
“Apa ibu bersedih saat ayah tidak ingin menikahi ibu?” bagi sebagian orang pertanyaanku ini adalah pertanyaan yang sudah pasti jawabnya apabila dilontarkan pada seorang wanita yang tidak dipertanggung jawabkan kehamilannya seperti ibu. Namun, masih sembari mengoleskan lipstick merah mudanya, ia menggeleng singkat dan menjawab, “itu sudah pilihan ayahmu untuk tidak memilih ibu. Ibu akan menderita apabila semua itu di paksakan.”
Aku sadar, reputasi ibu sudah jelek di mata masyarakat. Semua orang yang berpendapat, ibu adalah perempuan murahan yang suka bergonta ganti suami. Namun, bukankah cara seperti itu lebih halal dibandingkan ibu harus kumpul kebo dengan para lelakinya? Yah, semua itu kembali lagi kepada siapa yang memikirkannya.
“Lalu, siapa yang akan menjadi ayahku lagi, Bu?” tanyaku pelan.
“Lanang,” sapa ibu pelan. Lanang adalah bahasa jawa untuk laki-laki, sapaan yang sering ibu lontarkan padaku, “siapapun ayah barumu nanti, itu pasti yang tebaik buatmu.” Bisik lembut ibu. Malam ini ibu begitu cantik. Ibu selalu berdandan sangat cantik setiap malam sabtu. Yah, hanya malam sabtu. Pekerjaan ibu adalah tukang salon keliling, itupun pekerjaan siang hari. Kata ibu, setiap malam sabtu ada langganannya yang mengharapkan ia datang.
“Lanang, jangan lupa kunci pintu. Belajarnya jangan hingga larut, nanti kamu sakit.” Pesan umum yang tidak pernah ibu lupakan.
***
Namaku Ali, Satrio Ali. Aku anak pertama dari lelaki pertama ibuku. Lelaki pertama tapi bukan suami pertama ibuku tepatnya. Aku menerima suratan hidupku dengan ikhlas, walaupun aku agak bingung bagaimana alur sesungguhnya kehidupanku. Aku memiliki ibu dan banyak ayah. Karena ibuku sudah berkali-kali menikah, tapi bukan dengan ayahku. Sejak kecil aku dirawat dan dibesarkan oleh seorang wanita yang hingga tua kini masih memiliki paras yang amat cantik, bernama Laksmi Arumdani. Ia sosok wanita sederhana dan sangat pendiam. Perkataan dan perbuatannya sangat sulit di tebak, mungkin itulah mengapa banyak keturunan Adam mengejar-ngejarnya. Ibuku sudah tiga kali menikah, alasannya cukup sederhana mengapa ia memilih hidup bergonta ganti pasangan, “lebih baik ibu lepaskan, daripada ibu harus menyakiti.” Yah, begitulah ibu.
Pagi ini ibu kembali berangkat berkerja dengan tas lusuh yang berisi peralatan salon kelilingnya.
“Lanang, apa hari ini kamu tidak sekolah?” Tanya ibu mendapatiku masih berpakaian biasa pagi ini.
“Hari ini dan besok, ada rapat guru, Bu.” Jawabku singkat.
“Oh begitu. Ibu berangkat dulu ya lanang, doakan ibu mendapat banyak pelanggan hari ini, agar nanti malam, ibu bisa mentraktirmu pecel bebek di tempat Mang Adang.” Aku mengangguk.
Ibu sangat memanjakanku. Ibu bilang, aku tidak boleh tumbuh menjadi anak lelaki yang liar. Ibu sangat ingin aku menjadi lelaki yang sukses dan tentu saja berprilaku baik. Pernah aku merasa bosan menghadapi semua, di usia remajaku, aku tak berani menentang perintah ibu untuk langsung pulang setelah sekolah. Aku langsung teringat ibu, kebaikan dan kerja keras ibu selalu terbayang saat ada niat untuk melanggar perintahnya. Biarlah aku seperti ini, ibu bahagia, itu sudah lebih dari cukup.
“Ali,”
“Astaghfirullah,” aku terbelalak kaget saat mendapati seseorang di dapur rumahku.
“Siapa kamu?! Jangan macam-macam di rumahku!” bentakku. Seorang lelaki, putih bersih dan sangat wangi tiba-tiba ada di dapur rumahku pagi itu.
“Jangan takut, aku adalah teman ibumu. Ia menyuruhku menungguimu selama ia bekerja.” Jawabnya lembut. Ibu? Tidak pernah ibu bercerita sebelumnya kepadaku. “perkenalkan, namaku L-O-I-S-E,” ia mengeja namanya. “dibaca, Luis”
Aku mengangguk. Hidungnya mancung, matanya sedikit coklat. Wajahnya lelaki, namun aku menangkap aura kelembutan pada dirinya. Bicaranyapun sangat lembut. Apa mungkin dia banci teman salon ibu? “Yah, mungkin saja.”
“siapa nama lengkapmu, Nak?” Tanya Loise yang setelah memperkenalkan diri, kembali duduk membelakangiku.
“Ali, hm, Satrio Ali.” Jawabku
“Sekolah?” tanyanya lagi.
“Dua SMK, jurusan mesin.”
“Pernah mendapatkan juara?”
“Dari SD aku selalu mendapatkan beasiswa.”
“Kau sangat pintar, aku yakin, ayahmupun pintar.”
Ayah? Apa ibu tidak pernah bercerita kalau aku tidak memliki ayah? “Tidak, ayahku sungguh manusia yang ama bodoh dan berfikiran sempit.”
“Mengapa?”
“Karena ia lebih memilih kepentingan dirinya dibandingkan tanggung jawabnya. Sudahlah, lebih baik, kita berbicara yang lain. Aku tidak ingin membicarakan hal cengeng seperti ini.”
Dari perkataanku yang terakhir, ia diam, tidak lagi bertanya ataupun berkata hingga ia menghilang sebelum ibu pulang. Ibu tidak bertanya apapun tentang orang kirimannya tersebut. Akupun malas membahasnya. Pasti hanya membuang waktu saja.
“Lanang, apa kau sudah tau nama calon ayah barumu?” Tanya ibu di sela diamnya. Aku menggeleng tanpa mengalihkan mataku dari buku yang sejak satu jam yang lalu ku baca.
“Dia sangat baik.” Sambung ibu. Ibu, mana mungkin dia memperkenalkan nama calon suaminya kepadaku.
“Ibu, ayahku, ayah kandungku, seperti apa dia?” tanyaku. Ibu terdiam, dan tersenyum. Memang ini pertanyaan yang selalu ku tanyakan setiap kali ibu memutuskan untuk kembali menikah,
“Ia seseorang yang amat sangat baik” jawab ibu pelan dan tenang. Mengapa ibu selalu memvonis semua orang baik, termasuk ayahku yang nyata-nyatanya meninggalkan ia dan aku yang saat itu masih ibu kandung. “Ibu sangat mencintainya,” sambung ibu. Kali ini aku dapat melihat suatu yang sebelumnya tak pernah ku lihat dari ibu, sebuah pancaran ketulusan.
“Apa ayah masih hidup, Bu?” aku kembali bertanya. Pertanyaan ini tak pernah ku tanyakan sebelumnya. Ibu terlihat kaget dengan pertanyaanku,
“Iya lanang, ia masih hidup. Saat ini ia sedang sangat merindukanmu.” Ibu menjawab sambil mengelus perlahan rambutku.
***
“Kamu lagi?” aku sedikit kaget mendapati Loise yang sedang asik membersihkan meja makan yang di atasnya sudah tersaji sepiring masi goreng dan segelas susu coklat. Menu pagi kesukaanku yang biasanya ibu yang menyiapkan.
“Maaf, sudah membuatmu kaget. Makanlah, aku sudah memasakanmu ini. Ini makanan kesukaanku, semoga kamu juga suka.” Ucap Loise. Aku duduk dan memakan semua tanpa memperdulikan Loise. Makanan kesukaannya sama persis seperti makanan kesukaanku yang setiap pagi ibu hidangkan sebelum aku berangkat sekolah. Selama aku melahap semua makanan, mata Loise tak lepas dari aktivitasku, membuatku sedikit risih, namun itu semua tak ku perdulikan. Nasi goreng yang sedang ku lahap ini sangat enak.
“Mengapa kau tidak sekolah?” tanyanya saat suapan terakhir telahku lahap bersih.
“Ada rapat guru, jadi diliburkan.” Jawabku singkat. “Siapa kamu sebenarnya?” tanyaku penasaran, sambil terus melahap sesendok penuh nasi goreng yang ia sajikan. Loise tidak langsung menjawab, ia terdiam.
“Menurutmu?” Loise balik bertanya. Aku mengangkat kedua bahuku, ”kalau aku bertanya, berarti aku tidak tau”
“Aku Loise, aku orang baik dimata ibumu,” jawabnya. Aku melirik ke arahnya, ia tersenyum lembut.
“Ibu selalu mengatakan seseorang baik. Banyak sekali orang baik di sekeliling ibu.”
“Kalau begitu, aku adalah orang yang kau anggap bodoh, dan berfikiran sempit.” Loise berkata, sambil berjalan meninggalkanku.
“Tidak, ayahku sungguh manusia yang ama bodoh dan berfikiran sempit.” Aku tiba-tiba teringat kata-kataku kemarin kepadanya. Berarti, “Hei, tunggu!!!!” panggilku. Aku mengejarnya keluar. Apa benar, ia ayahku? Yah, benarkah? Aku terlambat, ia sudah tidak terlihat lagi. Ayah?
“Lanang, sedang apa kau?” Tanya seseorang dari arah belakang. “Kau menangis?” Tanyanya.
“Ibu, baru saja ayah datang.” Ucapku bergetar. Ibu memelukku erat. Tak kuasa ku menahan tangis, aku sangat merindukan ayah. Aku sangat berharap bisa bertemunya lagi. Walaupun aku sangat membencinya.
“Lanang, kau sudah saatnya tahu yang sesungguhnya.” Ibu berkata pelan dan menggiringku masuk rumah.

“Namanya Loise Serfentoo. Ia lelaki keturunan Belanda yang memiliki warna rambut dan bola mata seperti orang Indonesia. Ia teman ibu dulu. Kita sama-sama membuka usaha salon. Ia sangat baik,” Ibu menghentikan ceritanya sejenak, menarik nafas, lalu meneruskannnya kembali, “Suatu hari, ia menyatakan cintanya pada ibu. Namun itu semua karena ia mencintai Doni, pria yang ibu sayangi.”
Aku terdiam. Berusaha menyaring cerita ibu, “Yah, Loise sadar memiliki kelainan. Ia suka sesamanya. Loise tidak bisa menerima kenyataan itu. Ia marah pada dirinya, ia sangat ingin menentang semua itu, lalu, ia meniduri ibu. Berharap ia dapat membuktikan bahwa ia adalah lelaki normal. Saat itu, ibu sangat kecewa, bersedih karena Doni mengetahui hal itu, dan seketika memutuskan cinta kami. “
“Ibu hamil, Loise bingung. Begitu juga Ibu. ‘Laksmi, aku ingin memperbaiki hidupku dulu. Kelak aku akan kembali untuk mempertanggung jawabkan bayi kita. Aku berjanji. Aku mencintaimu, karena kau mengandung anakku, anak hasil pembuktianku, bahwa aku adalah lelaki normal. Maafkan aku.’ Setelah itu ayahmu pergi meninggalkan ibu dan kau,”
Aku bergetar mendengarnya. Aku perlahan mulai mengerti cerita ibu. Aku mengerti, kenapa ibu menyembunyikan ini semua dariku. Aku ternyata lahir karena emosional ayah terhadap dirinya sendiri.
“Ibu selalu menikah dan memutuskan untuk mengakhirinya, karena ibu masih sangat mengharapkan tanggung jawab dari ayahmu. Ibu mencintai semua suami ibu, namun ibu sesungguhnya merindukan ayahmu. Selama ini, ia selalu mengirimkan ibu uang untuk membiayai hidupmu, menyekolahkanmu. Ia sangat sayang padamu, lanang. Nama Satrio Ali pun ia yang memberikannya, karena ia berharap kau menjadi kesatria bagi ibu, yang bisa melindungi ibu...”
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi, aku bingung bagaimana aku harus menentukan sikapku.
“Lalu, siapa lelaki yang akan menjadi ayah baruku?” tanyaku.
“Dia Loise Serfentoo,” jawaban ibu membuat air mataku tak kuasa ku bendung. Tak bisa ku luapkan perasaanku kini, aku sangat bahagia karena sebentar lagi, aku akan berkumpul lagi bersama ayah. Aku yakin, ayah sudah bisa memperbaiki hidupnya, karena ia sudah kembali. Ayah, aku merindukanmu….

Minggu, 11 Oktober 2009

Siapa Dia

oleh: Thera Febrika NF
Namanya Dia, Diazanka Pufitrasriu, sebuah nama kepanjangan yang susah diingat. Dia adalah murid baru, katanya dia pindah dari pulau Sumatera. Dari pertama kali masuk Dia tidak pernah berbicara, kecuali bila guru bertanya padanya. Teman-teman yang bertanya sesuatu padanyapun tak Dia jawab. Itu membuatnya tidak disukai. Tak ada yang tau penyebabnya mengapa sikap Dia sangat dingin seperti itu. Dan dasar nasib apes sedang berpihak padaku, Bu Tatin wali kelasku menyuruh Dia duduk sebangku denganku. Karena kebetulan Galih teman satu bangkuku baru saja pindah sekolah.
“Hai, aku Diaza Putria, cukup panggil aku Diaz. Nama kita hampir mirip ya?” Sapaku. Dia tetap diam. Aku sudah siap menelan pil pahit saat menegur manusia ciptaan Tuhan yang sangat pendiam satu ini.
“Eh, Dia, denger-denger di Sumatera lebih panas dibandingin di Jakarta ya?” tanyaku lagi. Dia masih terus diam, matanyapun tak sedikitpun menatapku.
“Dia, kok kayaknya aku pernah ngeliat kamu ya? Kamu pernah masuk tv ya?”tanyaku yang kesekian kali. Sudah ku putuskan, kalau pertanyaanku satu ini tidak ia jawab, aku akan menjerit dan bilang “Kamu tuli ya?!”
“Memang benar kita pernah ketemu” Jawabnya datar. Aku terdiam. Bertemu?
“Maksud kamu?”
Dia tidak menjawab lagi. Hufh.. mulai lagi nih anak diem. Low bat kali ya. Gerutuku dalam hati. Begitu seterusnya Dia hanya diam, tak menjawab kalau tidak benar-benar membuatnya ingin menjawab. Walaupun di kalangan teman-teman, ia termasuk anak yang sombong, tapi Dia sangat disukai guru. Karena kecerdasannya. Tak pernah ia tak bisa menjawab semua pertanyaan dari guru. Kalau dimintai pendapatpun, ia selalu memberi pendapat yang simple namun jelas dan tepat.
Ada satu hal lagi yang aneh sejak kehadirannya. Tiga malam ini, aku selalu bermimpi tentang Dia. Dia datang ke mimpiku dengan wajah yang sama, datar. Namun di mimpiku, ia berkata perkataan yang selalu sama setiap malam, “Maaf, seharusnya aku melindungimu” Setelah Dia berkata seperti itu, Dia lalu berlalu pergi. Awalnya aku menganggap itu hanya mimpi biasa, tapi lama kelamaan aku mulai penasaran, apa maksud dari mimpi itu.
Pagi itu, aku melihat Dia datang masih dengan wajahnya yang datar. Aku melihatnya dari jauh. Aku tidak tahu perasaan apa ini, mengapa aku merasa begitu dekat dengannya. Dengan seseorang yang baru pertama kali aku temui.
“Diaz,” panggil seseorang. Aku terbelalak kaget saat yang menyapaku pagi itu adalah Dia. “Tolong pagi ini kamu jangan ikut upacara” Dia berkata sedikit ragu-ragu
“Jangan? Mengapa?” tanyaku bingung. Dia tidak menjawab, ia berlalu begitu saja. Dasar sinting! Batinku. Aku tak menghiraukan kata-kata Dia. Pagi ini aku akan tetap ikut upacara. Karena pagi ini yang menjadi pemipin upacara adalah kakak kelas pujaanku. Bisa terlewat dapat pemandangan indah kalau aku lewatkan. Lagian, atas dasar apa ia melarangku?
Upacara dimulai, hari ini cuaca sangat terik. Upacarapun seperti berlangsung sangat lama. Keringat sudah sangat banyak memandikan tubuhku. Mataku berkunang-kunang, pusing. Mengapa tiba-tiba gelap? Dan …
Kepalaku sangat berat, sangat sakit. Mataku sangat sulit untuk di buka. Aku berusaha, dan akhirnya aku bisa membuka mata. Remang-remang aku mendapati seseorang di sampingku, sedang duduk sambil menunduk, siapa?
“Dia” Ucapku pelan. Setengah tak percaya kalau orang yang menungguiku adalah Dia.
“Sudah ku bilang, jangan ikut upacara” Dia berkata sambil memalingkan wajahnya
“Tau darimanakalau aku akan pingsan?”
“Aku tidak berkata kau akan pingsan,” jawab Dia santai.
***
“Ampun, Pa. Ampun,”
“Sudah saya bilang, jangan bicara aneh-aneh kamu!” bentak pria itu sambil terus menyabetkan seutas ikat pinggang ke badan anak kecil yang sedang tengkurap diatas kasur.
“Ampun Pa, ampun” lirih anak itu lagi
“Jangan panggil aku Papa! Dasar anak sialan!” bentak lelaki itu tanpa belas kasihan. Anak kecil itu merintih kesakitan.
“Papa, berhenti. Jangan pukulin kak Dia lagi Pa,” tiba-tiba seorang anak perempuan berkepang dua memeluk lelaki itu. Lelaki itu melemah, dan menghentikan sabetannya.
“Dia sudah menghancurkan hidup Papa, Nak. Hidup kita. Kebahagiaan kita terampas karena anak sial ini.” Jelas lelaki itu. Anak lelaki itu berusaha beranjak dari tempat penyiksaannya itu. Ia berjalan terseok menjauhi lelaki dan anak perempuan yang amat ia sayanginya itu. Anak lelaki itu duduk disamping seorang ibu yang juga badannya penuh luka.
Aku terbangun. Mimpi bermimpi. Mimpi yang aneh, begitu jelas terekam. Siapa mereka sebenarnya. Aku melihat jam yang menempel di dinding kamarku, masih menunjukan angka dua malam. Aku beranjak bangun dan keluar untuk mengambi segelas air putih.
“Di.. Diaz” panggil seseorang saat aku baru saja satu tegukan air. Aku menoleh.
“Papa, belum tidur?” jelasku. Aku hanya tinggal berdua dengan Papa. Papaku saat ini cacat karena kecelaan yang menimpanya, aku dan mama saat usiaku tujuh tahun. Papa selamat dengan keadaan yang sangat kritis. Ia kehilangan kedua kakinya, serta kemampuannya untuk berbicarapun tak selancar dulu lagi. Sepeninggalan mama, aku hidup betiga dengan tante Ratih, adik Papa. Namun karena tante Ratih sudah menikah dan saat itu akupun sudah dewasa, tante Ratih pergi ikut suaminya pergi ke Bali dan mempercayakan aku. Tinggallah aku berdua dengan Papa. Aku mengurus segala sesuatu keperluan papa. Untuk menghidupi aku dan Papa, aku bekerja sepulang sekolah. Semua itu aku jalani dengan hati yang ikhlas, sehingga aku bisa bahagia menghadapinya.
“Sudah malam, Pa. Sekarang Papa tidur dulu. Supaya besok segar lagi.” Aku mendorong kursi roda papa dan memopoh papa kke tempat tidur. Aku menyelimutinya.
“Diaz sayang Papa” Ucapku seraya mencium kening Papaku sebelum meninggalkannya keluar kamar,
“Di..Diaz ma..aaf…” Papa berkata pelan. Papa selalu berkata seperti itu setelah aku melakukan sesuatu untuknya.
“Papa tidak pernah buat salah. Jadi tidak perlu minta maaf begitu.” Jawabku lembut. Lampu kamar papa ku matikan, dan akupun kembali tidur.
***
“Pagi Dia,” sapaku pada Dia yang selalu datang lebih awal daripada aku. Seperti biasa Dia tidak menjawab sapaanku. Aku mulai bisa menerima sifat anehnya itu.
“Ini,” aku menyodorkan sebuah buku catatanku padanya. “Ini buku catatanku. Nanti sepulang sekolah aku tidak bisa kumpul kelompok untuk mengerjakan tugas, jadi aku sudah rangkum semalam.”
“Dasar anak kecil, pasti kamu akan pergi main.” Ujar Dia ketus. Aku tersenyum, ”aku bukan mau main, tapi setiap hari sepulang sekolah aku bekerja. Teman-teman yang lain sudah banyak yang tau kalau aku selalu bekerja sepulang sekolah. Dan sekarang, aku yang memberi tahumu.” Jelasku Aku melihat reaksinya, alisnya menyatu tapi tatapannya tetap ditujukannya ke depan. Seperti seseorang yang tidak mengerti.
“Papa aku sedang sakit, jadi aku yang harus berusaha sendiri untuk meneruskan sekolah.” Aku kembali menjelaskan. Tapi tiba-tiba, Dia meneteskan air mata tanpa sedikitpun menatapku. Tatapannya terus kosong menatap kedepan.
“Maaf, seharusnya aku melindungimu.” Ucapnya bergetar. Ucapannya kali ini sama persis seperti apa yang ia sampaikan dalam mimpiku. Belum sempat aku bertanya, Dia sudah beranjak pergi. Aku tidak mungkin menanyakan mimpi itu padanya. Karena aku yakin ia tidak akan percaya. Satu lagi yang ingin aku tanyakan, mengapa ia tiba-tiba menangis saat mendengar penjelasanku tadi?
“Apa mungkin semua ini ada artinya? Mimpi-mimpi itu seperti bukan sebuah mimpi.” Aku sangat ingin tahu, apa maksud semua ini. Apa aku harus mencari tau semuanya? Tapi bagaimana caranya? Apa aku harus memberanikan diri bertanya pada Dia? Yah, sepertinya itu jalan satu-satunya. Aku keluar kelas mencari Dia. Kemana anak itu? Aku berjalan mencainya keliling sekolah. Pelajaran sebentar lagi akan dimulai, tapi ia tidak ku temukan. Akhirnya ku putuskan tidak meneruskan mencarinya karena pasti akan memakan waktu lama. Ternyata benar, Dia tidak masuk hari ini. Tasnya ia tinggal di atas mejanya. Aku akan mencari tau ini semua sendiri.
***
“Assalamualaikum, Pa. Diaz pulang.” Aku menggantungkan tas sekolahku, lalu berjalan masuk kamar papaku. Biasanya sore-sore begini papa selalu duduk di depan jendela kamarnya.
“Papa,” panggilku berulang kali saat tidak ku dapatkan papa di depan jendela kamarnya.
Papa ke taman. Berjalan – jalan sore
Sebuah kertas bertuliskan tulisan tangan papa ku temukan diatas meja. Papa ternyata ke taman. Kegiatannya kalau sudah benar-benar suntuk. Aku melihat kasur papa, sangat bernatakan tempat tidur itu. Akhirnya ku putuskan untuk membersihkannya dulu.
“Apa ini?” Aku menemukan sebuah foto yang sudah usang di bawah bantal Papa. Ada empat orang. Seorang lelaki dan seorang wanita menggendong dua orang bayi. Yang lelaki sangat mirip dengan papa, sedangkan yang wanita juga mirip dengan foto mama. Lalu,berarti bayi yang di gendong mama dan papa itu aku, aku dan… siapa bayi yang satu lagi?
***
“Melamun pagi-pagi itu tidak ada gunanya.” Suara itu kembali menyapaku. Aku masih memikirkan apa yang telah ku temukan kemarin, foto papa dan mama yang menggendong dua orang bayi. Aku juga memikirkan mimpiku tadi malam yang tak kunjung berubah, Dia dengan kalimat, “maaf, seharusnya aku melindungimu,” dan di selingi dengan seorang anak yang di pukuli seorang lelaki.
“Maafkan aku, seharusnya aku melindungimu.” Dia berkata pelan.
“Siapa kamu sebenarnya? Perkataan itu, mimpi itu, apa maksudnya?”
“Dulu, aku memiliki sebuah keluarga,” Dia memulai ceritanya. “Namun semua hancur karena kemampuanku. Namaku Diazanka, dan aku memiliki adik kembar yang lahir selisih satu jam denganku, bernama Diaza.”
“Apa?! Aku tak mengerti maksudmu, Di?” aku bertambah bingung. Apa-apaan semua ini?
“Aku dilahirkan berbeda seperti manusia biasa. Namun aku memiliki kemampuan bisa melihat kejadian yang akan datang. Aku juga bisa mendatangi alam mimpi dan bayang seseorang. Tapi, semua ini justru menghancurkan keluargaku. Papa sangat membenciku, karena aku dianggap pembawa sial. Sehari sebelum Papa bangkrut, aku sudah memberitahunya, namun Papa tidak percaya. Saat hari itu tiba, dan ternyata perkataanku benar, Papa marah besar. Dia memakiku, memukulku, menyiksaku, bahkan aku tidak dianggapnya anak karena dianggap kalau perkataankulah penyebab semua ini. Aku si pembawa sial. Aku dihukum tidak boleh berbicara apapun kepada Papa atau Mamaku, bahkan dengan adikku, kalau aku langgar, papa akan kembali memukuliku” Dia menarik nafas sejenak, menghembuskannya, lalu meneruskan ceritanya, “adikku yang selalu melindungiku dari Papa, setiap Papa marah, hanya dialah yang dapat membuat Papa tenang dan tidak memarahiku. Hingga akhirnya, Mama, Papa, dan kau, Diaz, berencana pergi keluar kota untuk mengunjungi rekan Papa, namun aku melihat bahwa akan terjadi suatu hal yang sangat buruk yang akan menimpan perjalanan kalian. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku sangat menyesal, seharusnya saat itu aku berani berbicara! Aku sangat menyesal! Kalian pergi, sedangkan aku tidak diizinkan ikut. Aku membisikan sesuatu ketelingamu sebelum pergi, ‘melompatlah saat mobil papa mulai goyah’ dan kamu mengangguk. Ternyata benar, mobil Papa terbalik, Mama meninggal, Papa terluka parah, sedangkan kamu, kepalamu terbentur dan membuatmu kehilang ingatan. Saat memulihkan ingatanmu, Papa tak pernah memperkenalkanku padamu, karena aku selama ini hanya dititipkan pada adik bungsu Mama, di Lampung. Aku tidak dianggap anak lagi. Hingga saat ini, aku kesini, hanya ingin mengucapkan, maafkan aku adikku.” Dia mengakhiri ceitanya. Aku terpaku, antara percaya dan tidak. Namun aku memang pernah kehilangan ingatan saat usiaku delapan tuhun.
***
“Papa,” Aku menghampiri papa yang sedang melamun di depan jendela kamarnya. Aku membalikan kursi rodanya kearah pintu yang tadinya ia belakangi.
“Si... Siapa di..dia?” Tanya papa
“Di…Diazanka Pufit..rasriu,”papa berbisik tertahan, air matanya tergenang,
“Papa!” Dia berlari memeluk papa. Berlutut, meletakkan kepalanya diatas kedua kaki papa yang terduduk diatas kursi roda. Papa memeluk Dia, seperti tak ingin dilepaskan.
“Maaf… Ma..afkan, Ppa..Pppa, Nak.”
“Tidak Pa, Dia yang bersalah. Dia yang telah membuat Papa seperti ini, Dia tetap anak sial, Pa.. Maafkan Dia…”
“Ssseharusnya Ppapa per..caya kam..u”
Akhirnya semua kebohongan ini terungkap. Semua pertanyaanku terjawab. Dia sengaja masuk kealam mimpiku untuk memberi tahu semua ini. Dan semua ucapan maaf papa itu karena hal ini, karena papa memisahkan aku dengan Dia.
_SELESAI_

Ayo Berbisnis