Sabtu, 30 Mei 2009

GiLa

G I L A

(Juara II lomba PEKSIPEL Unila 2007)
Oleh: Thera Febrika Nur Fajr
Seandainya dunia memiliki jalan pikiran yang sama dengan jalan pikianku, memiliki rencana yang tertera persis seperti apa yang telah ku inginkan, mungkin dunia ini akan ku cinta. Aku sangat berharap, ada dunia lain yang dapat menampung makhluk munafik sepertiku. Tapi aku tidak munafik. Yang munafik adalah mereka yang tidak pernah merasa mereka munafik. Yah, aku makhluk biasa yang hanya menuntut sebuah jawaban akan harapanku yang hampir semua tak ku mengerti. Mungkin Tuhanpun akan terbahak sampai menangis melihat impian-impian semu manusia ciptaanNya, yang terlahir dari rahim seorang wanita. Wanita yang bingung, siapa penanam saham di rahimnya yang ternyata terlahir seorang gadis, yang tak mengerti maksud ia terlahir di dunia yang ia tak mengerti. Apakah hidup itu trlalu hina untuk ia nikmati?
***
Kisah dia memang sangat klise, sangat biasa, sangat wanita, dan sangat menggemaskan. Namanya Nining Kumarsih, seorang wanita dengan badan khas wanita Jawa, anggun, lemah lembut, hitam dan manis seperti kecap, membuat keturunan Adam memangsanya seperti seekor kucing mengintai sebuah ikan asin. Dia, ibuku. Ibu…? Semoga saja. Menurutku, seorang ibu itu bukan hanya melahirkan, walaupun melahirkan itu menaruhkan sembilan puluh sembilan persen nyawanya namun juga merawat, mengasuh, menuntun anaknya agar tak seperti aku.

Namaku Hannum. Nama yang indah dan pantas bersandar di diriku yang indah. Menurut Nino, kekasihku yang tak pernah ku anggap kekasih. Nino pria yang baik, sedikitpun ia tak pernah menuntutku mencintainya, hanya menuntutku agar aku belajar untuk tidak membenci cintanya. Aku percaya cinta. Namun aku tak prcaya itu benar ada. Karena dari tangisan pertama yang keluar dari mulutku, aku tak pernah merasakan cinta. Ibu memperlakukanku seperti boneka yang baru saja ia temukan di tong sampah, dan dipungut hanya karena tidak ingin tong sampah itu terisi penuh. Dalam hidupku, hanya satu yang aku pertahankan untukku tetap hidup. Yaitu inginku untuk mengerti hidup, dunia dan cinta yang sebenarnya, tepatnya aku penasaran akan sebuah kebahagiaan dalam hidup… datar, namun bagiku berliku.
***
Nino sangat baik padaku, juga pada ibu yang tak baik padaku. Katanya, bagaimanapun, surga tetap ada di telapak kaki ibu. Tapi bagiku, surga itu sudah di rusak sendiri olehnya. Satu hal yang membuatku semakin tak menyukai ibu, yaitu, ia sangat baik ketika Nino datang mengunjugiku, seolah-olah Nino mengunjunginya. Aku malu dengan tingkahnya, yang ‘tak normal’ untuk ibu seusianya.
“ Sudah pulang?” Tanya ibu basa-basi. Aku membuka ikatan rambut dan satu kancing dibawah kerah bajuku lalu meletakkan tas hitam yang selalu ku bawa bekerja.
“ Seorang wanita jangan terlalu giat bekerja, ” Sambungnya. Aku terseyum simpul kearahnya, “ tau apa ibu tentang seorang wanita? Apakah ibu seorang wanita yang sempurna? “ tanyaku seraya meneguk segelas air putih dingin. Aku tak tau maksud ucapan ibu, mengapa ia sangat tidak setuju aku bekerja. Aku sudah 25 tahu, dan aku pintar. Lalu apalagi alasannya.
“ Hidupmu pun akan bahagia walaupun tak bekerja. Karena ibu sudah mengatur hidupmu. “
“ Maksud ibu? “ tanyaku menghentikan kesekian kali tegukanku.
“ Namanya Widianto. Pengusaha sukses. Dengannya kau akan bahagia. “
“ Apa?! “
Idiot! Hidup ini ku rasa semakin idiot. Kemana otak ibu? Apakah sudah dimakan kucing sehingga tak lagi memiliki otak? “ Dia memiliki tiga pabrik, dan berhektar-hektar tanah dengan penghasilan yang melimpah. “
“ Aku akan bahagia hanya dengan Nino, Bu. “ sergahku.
“ Nino terlalu baik untukmu. Dia lelaki yang sempuna, dan ia…”
“ Tunggu! Tolong jangan katakana ibu ingin memilikinya? “ tebakan bodoh itu terlontar begitu saja. Ibu menunduk, mengibaskan rambut bergelombang coklatnya. Memejamkan kedua matanya, lalu membukanya dengan berat. “ Iya.” Menghentikan perkataanya, menarik nafas lalu menghembuskannya, seraya berkata, “ ibu ingin dia jadi milik ibu. “
***
Sial! Mengapa Tuhan begitu jahat kepadaku? Mengapa Ia memilihkanku seorang ibu dengan tak berotak sepertinya? Apa yang ia inginkan. Aku baru saja akan bahagia, baru saja akan menemukan sedikit kebahagiaan. Dengan mudahnya akan ia ambil. Sangat tidak adil. Aku malu pada dunia, pada matahari, pada malam dan pada diriku sendiri. Harus bagaimana aku, akupun tak tahu.
“ Orang gila itu, ingin menikahkan aku dengan Widianto, dan… Ia menginginkanmu.” Ucapku lirih. Nino mengerutkan alisnya tanda tak mengerti. Aku pun tak mengerti, apalagi Nino yang tak tahu apa-apa.
“ Ibu, “ sambungku. Nino sepertinya langsung mengerti. Nino bukan lelaki bodoh, itulah mengapa aku tertarik padanya.
“ Jangan ambil pusing dengan semua itu. Aku hanya mencintaimu. Cintaku untukmu saja belum sepenuhnya tersambut. Aku tak mungkin akan mencintai yang lain.” Jawab Nino.
“ Lalu apakah, kalau kelak aku menerima sepenuhnya cintamu, kau akan belajar pula mencintai yang lain? “ tanyaku. Ku tatap lekat wajah Nino. Nino tersenyum. Manis sekali. “ Aku akan menjaga cintaku padamu. Karena aku hanya memiliki satu cinta untuk selamanya. Dan itu hanya ku suguhkan untukmu, Hannum.” Jawaban Nino menenangkanku. Dalam hatiku seolah ada mahluk kecil, berlari-lari gembira sembari menari-nari merayakan kebahagiaanku, kebahagiaan impianku selama ini.
“ Kalau begitu, aku menerima semua darimu.” Jawabku. Senyum Nino mengmbang, semakin membuatku terlonjak bahagia.
Kini, aku tak lagi memikirkan orang aneh itu. Yang aku pikirkan hanyalah bagaimana aku mempertahankuan hidupku, Nino dan kebahagiaanku. Mataku berat sekali. Aku meletakkan kepalaku ke pundak Nino. Nino tersenyum. Untuk pertama kalinya aku menyandarkan kepalaku ke pundak seorang lelaki, jangankan lelaki, sekalipun aku tak pernah mendapatkannya, dari ibu sekalipun. Aku tak pernah mendapatkan perasaan ini sebelumnya. Perasaan menyayangi dan di sayangi. Rasanya begitu hangat, dan melindungi.
***
“ Kau tak akan pernah bahagia anakku. Semua itu akan menjadi milikku. “ segaris senyum mengerikan terukir dari mulutnya.
“ Tidak! “ teriakku.
“ Aaau,” kepalaku nyeri. Mataku tak jelas seperti televisi tanpa antenna. Aku sangat lega, ternyata itu semua hanya mimpi. Aku yakin, mimpi itu hanyalah perasaan gusarku saja.
“ Darimana saja kau dengan dia? “
Aku membalikkan wajah. Ibu sedang duduk manis dihadapan kaca rias dengan menyisir kesamping rambutnya.
“ Tadi kau tertidur dan dibawanya pulang.” Ucapnya sinis. Dasar orang tua tak tahu diri. Aku tetap diam. Aku tak ingin meladeni kegilaannya. Bisa-bisa aku bisa ikut gila. Aku menarik selimut di atas tempat tidurku, lalu kembali menelungkupkan badanku dibalik selimut.
“ Dia akan tetap menjadi milik Ibu.” Ucapnya. Ucapannya kali ini tak bisa hanya ku konsumsi, aku tak bisa bila kebahagiaanku dirampas begitu saja.
“ Apakah kau gila, Bu! Tidakkah kau melihat keriput di sekitar matamu saat kau berkaca? Disekitar lehermu?! Kau sudah menjadi nenek-nenek! Nino tak mungkin mau padamu. “ ujarku lantang. Ibu tersenyum sinis. Berdiri, lalu meninggalkanku sendiri di kamar.
Ya Tuhan, aku benar-benar sudah tak kuat dengannya. Aku sangat ingin tahu, penyakit jiwa apa yang sedang ibu derita saat ini. Persetan sakit jiwa apapun, yang terparah sekalipun, aku tak akan peduli, apabila ia tak berencana merebut kebahagiaan pertama yang ku dapatkan. Nino.
“ Krek,”
Tak lama pintu terbuka. Sesosok bayangan perlahan menyusup melalui celah pintu. Bukan ibu. Siapa dia? Seorang lelaki. Bukan juga Nino. Lelaki. Berbadan besar, mengenakan kaos ketat hingga tampak bentuk tubuhnya yang mengerikan.
“ Siapa kau? “ tanyaku memundurkan badanku. “ Pergi! “ teriakku.
“ Aku Widianto cantik. Ibumu sudah mengenalkanku, bukan?” Jawabnya. Ibu benar-benar gila! Bunuh saja aku daripada aku harus meladeni tua bangka ini.
“Pergi! “ aku tak bisa berkata apa-apa selain itu. Aku sangat takut. Tak pernah takut yang teramat menderaku seperti ini.
“ Kita akan bersama selamanya. Kau sama seperti ibumu, cantik.” Ucapnya lagi.
“ Tidak! Pergi! Tolong!!! “ teriakku lagi.
Apa yang harus aku lakukan. Tuhan, Nino, siapapun kalian tolong aku! Widianto naik ke atas tempat tidurku, membelai sedikit badanku. Badanku sudah berada di bibir tempat tidur. Tanganku meraba-raba meja di sampingnya. Berharap ada sesuatu yang dapat menolongku. Tanganku mendapatkan sesuatu. Sebuah pena. Lelaki itu kembali mendekat dan….
“ Aaaaa….!!! “ Teriakannya pecah manakala mata pena ku tusukkan tepat pada bola matanya. Widianto tersungkurmemegangi matanya. Kesempatan itu tak kusia-siakan. Aku berlari keluar kamar, lalu keluar dari rumah. Aku terus berlari, dengan genangan air mata yang sudah membanjiri pipiku. Ibu, apakah aku ini benar anakmu? Aku terus berlari, menelusuri jalan. Kakiku penuh darah karena kerikil dan benda tajam di sepanjang jalan tak ku hiraukan karena aku ingin segera bertemu dengan Nino. Yang ku harapan hanya Nino, Nino, dan Nino.
Akhirnya aku sampai di depan rumah Nino, aku ingin ia segera menenangkanku. Aku ingin Nino. Hanya Nino tempatku bersandar. Tak ku ketuk lagi pintu rumah Nino yang tak biasa terkunci. Aku berlari mencari kamarnya. Ia pasti sedang istirahat, siang ini. Namun… Kakiku berhenti saat pintu kamar Nino yang sedikit terbuka, jiwaku terguncang. Kebahagiaanku telah hilang ketika itu juga… Yah, satu-satunya kebahagiaanku, hilang.
“ Hannum… “ Ucap Nino kaget dan melepaskan rengkuhan lengannya dari tubuh wanita yang tak asing lagi.
“ Tidak… “ ucapku begetar. Bagai tersengat listrik berarus tinggi, aku tak percaya. Aku tak yakin dengan apa yang ku lihat. Ternyata Nino bukan kebahagiaan yang selama ini ku yakini dapat membahagiakanku. Ibu… wanita itu lagi, ia sudah merenggutnya. Nino bukan kebahagiaanku, ia membohongiku. Dengan kedua mataku, aku menyaksikan Nino bermain dengan nafsunya, berrsama orang gila yang telah mengandungku dan melahirkanku.
“ Hannum, ini semua…” Nino berusaha menjelaskan. Aku menggelengkan kepala, aku tak ingin mendengarkan apa-apa. Bagiku, apa yang telah ku lihat adalah penjelasan terjelas. Aku tak butuh deretan kata-kata bodoh yang membohongiku.
Kakiku seolah menolak untuk berdekatan dengan Nino, aku melangkahkan kakiku kebelakang menjauhinya. Lalu membalikan badan, dan kembali berlari. Berlari meninggalkan semua yang membuatku lemas, membuatku ingin menjerit, dan membuatku tak ingin melihat dunia. Kali ini, aku tak tahu akan kemana. Karena aku tak akan pernah bisa meraih kebahagiaan dalam hidupku. Aku kembali tak mengerti, sesungguhnya aku, atau hidupku kah yang gila???.
= Sekian =

0 komentar:

Posting Komentar

Ayo Berbisnis