Senin, 06 Februari 2012

Dalam Cengkram Konteraksi

Jangan membuatku semakin tidak menginginkanmu! Tolong hentikan cengkramanmu! Apa kau rela menjadi anak durhaka sebelum kau di lahirkan!
Ini bukan permulaan. Ini adalah awal. Awal yang belum bisa kuhadapi sepenuhnya. Genangan air mata penyesalan yang mengering masih menyisakan jejak hidup yang ku anggap keras, hingga aku tersungkur dalam penyesalan. Ini bukan mauku. Ini juga bukan mimpiku. Mimpiku masih bergerumul dengan angan tak bertepi yang justru kini memojokkanku dalam sebuah kuasa tak terkendali. Saat kendaliku goyah, aku justru menghancurkan ruas besar masa depanku.

“Kalau sudah terasa kontraksi, tarik nafas panjang lalu ejankan dengan keras.”
Aku beruntung, bidan muda ini masih mau menerima ketukan pintuku tengah malam. Aku sudah berjanji akan memberikan anak yang tidak lama lagi akan kulahirkan untuknya. Sembilan bulan yang lalu saat aku berbisik meminta obat yang dapat melemahkan atau menggagalkan kandungan, bidan muda itu menolak dengan tegas. Setelah membekaliku dengan ceramah keagamaannya ia menawariku sebuah tawaran yang membuatku mengurungkan niat untuk menggagalkan janin ini. Ia berjanji akan mengambil anakku. Seketika, harapan untuk kembali bebas dan merdeka tanpa aib kembali terhirup. Aku menyetujuinya.
“Kumpulkan tenagamu bila belum ada kontraksi. Dan ejankan bila kontraksi muncul.”
Perintah seorang wanita yang sekilas kulihat jejeran uban yang terlihat semakin ramai di kepalanya. Wanita ini alasanku. Alasanku menyumpah serapahi kepala yang mulai menyundul bagian bawah perutku seakan tak sabar ingin lahir dan membalas makian kepadaku. Wanita yang menggenggam erat telapak tanganku ini adalah ibuku. Ia hanya seorang kuli cuci di kompleks tak jauh dari rumah. Selepas kematian bapak lima tahun yang lalu karena terbunuh saat ada perang suku antara desaku dan desa tetangga, ibulah yang menghidupiku dan adikku hingga akhirnya ia memboyong serta anak-anaknya mengadu nasib ke kota. Alasan kuatku ingin menggugurkan hasil kelalaianku ini adalah aku tidak ingin ibu mengusirku dari rumah dalam keadaan perut membuncit. Hanya itu. Tak akan ada yang mau menerima perempuan hamil sepertiku bila ibu mengusirku.
“Ini semua salah Ibu! Kalau saja Ibu bisa memenuhi kebutuhanku, tidak mungkin aku bekerja seperti ini!”
Di sela sakitnya cengkraman kontraksi di perutku, aku teringat kejadian saat ibu menangis tersedu mengetahui anak sulungnya hamil di usia yang belum saatnya. Ibu terisak, selain karena ia mengetahui ia akan memiliki cucu yang belum ia harapkan, juga karena ia baru mengetahui kalau aku, selama ini bekerja dengan bermodalkan fisikku yang nyaris sempurna kepada siapa saja yang mampu menaruh harga tinggi. Kehinaanku, membuatnya tak mampu dan tak bisa berbuat apa-apa. Wanita itu pasrah, terpojok dan rapuh.
“Kau baru tujuh belas tahun, Nak. Dulu kau muslimah yang rajin... Yaa Rabb, ampuni aku.. Bapak, maafkan ibu ndak bisa menjaga anakmu..” Dalam bayangku, ibu terus mengulangi kalimat itu berulang-ulang.
“Jangan melamun, ayo, kumpulkan tenagamu Ratih!” aku tersadar dari lamunanku. Kembali aku merasakan sakit yang luar biasa. Tiada duanya. Melebihi banyak penyakit yang pernah ku derita sebelumnya. Aku menarik nafas panjang, lalu kuejankan dengan keras.
“Sakit, Bu!” teriakku. Aku tidak bisa menyalahkan siapa-siapa atas penderitaan ini. Bapak dari bayi ini pun aku tak tau siapa. Apa mungkin aku harus menyalahkan ibu seperti yang dulu pernah berulang kali kulakukan? Kurasa itupun tidak adil, aku kini berada di posisi ibu saat melahirkanku. Aku tau, rasanya sama. Sakit dan butuh perjuangan. Lalu, siapa yang harus disalahkan? Diriku? Aku tidak merasa bersalah.
Cepatlah keluar. Apa yang menahanmu untuk berdiam diri di dalam sana. Di dunia ini, kau akan bersama dengan seorang ibu baru, yang pastinya bukan aku.
“Lihat, mulai terlihat rambutnya, Nak!” kini Ibu yang bersemangat. Aku pun begitu. Badanku remuk. Tenagaku kini sedikit yang tersisa. Inginku menjerit, namun tidak ada gunanya, toh bayi nakal ini tidak akan terlahir hanya dengan jeritan dan makianku terhadapnya.
“Ratih, nyebut, Nak.” Ibu mengelus keningku yang banjir keringat. Tulang belulangku seperti terlepas dari sambungannya. Aku sungguh sudah tak sanggup. Melahirkan bayi ini sungguh tidak sebanding dengan sakit yang kubayangkan. Seluruh kekuatan sudah kupergunakan, namun tak kunjung berakhir penderitaanku.
“Apa peran Ibu? Ibu hanya pelengkap penderitaanku!”
Entah mengapa perkataan yang sudah tak ku ingat kapan terjadinya itu kembali terngiang saat kontraksi hebat yang menuntutku untuk mengejan itu terasa. Beginikah rasanya menjadi ibu? Mengapa banyak sekali orang yang ingin menjadi ibu bila prosesnya begitu sakit dan melalahkan seperti ini.
“Ibu, masuk. Di dalam kamar saja. Jangan keluar. Ratih malu dengan teman-teman kalau Ibu keluar! Baju saja sobek-sobek seperti ini. Macam gelandangan saja!”
Ya Tuhan, mengapa bayangan keangkuhan diriku itu terus hadir. Aku tidak bisa mengejan dengan sempurna bila teringat itu.
“Ibu, aku haus.“ ucapku pelan. Kerongkonganku kering. Mataku perih, memerah karena terlalu sering mengejan dengan mata tertutup. Badanku panas, guyuran keringat tidak membuatku segar, justru kebalikannya. Ibu menyodorkan sedotan kearah mulutku. Terlihat tangannya bergetar. Wanita itu terlihat amat panik. Wajah tuanya ikut bermandikan keringat. Wajahnya begitu tampak cemas. Baru kali ini hatiku sakit menatapnya. Sudah begitu banyak penderitaan yang ia hadapi. Goncangan penderitaan mampu ia sembunyikan hanya untukku dan adik-adikku. Untuk pertama kali aku ingin sekali memeluknya. Aku ingin mencium tangannya. Begitu durhakanya aku, namun begitu tulusnya ia membalas kedurhakaanku terhadapnya.
“Ibu,” panggilku perlahan.
“Iya, Nak.. Ayo, sedikit lagi anakmu lahir. Berjuanglah..” suara Ibu terdengar bergetar. Aku melihat genangan air mata membasahi pipi keriputnya. Ibuku terlihat lebih tua di banding usianya.
Ibu, seandainya ia tau betapa aku dihantui perasaan bersalah saat ini. Begitu ingin aku memeluknya dan meminta maaf. Tapi tentu saja ini bukanlah saat yang tepat.
Kontraksi itu muncul.
“Baju apa ini? Kampungaaan!”
Teringat lagi hal buruk yang ku perbuat terhadap ibu.
“Ejankan yang kuat. Jangan setengah-setengah. Jangan siksa bayimu! Jangan biarkan ia tersiksa di dalam. Dia tidak salah apa-apa.” Kali ini bidan Rospah menegurku. Ya, ia benar, anak ini tidak bersalah apa-apa. Ini adalah kesalahan aku, ibunya. Ibu? Pantaskah aku dipanggil ibu?
Kontraksi di perutku masih berlanjut.
“Ini baju hangat hadiah ulang tahunmu, Nak. Ini Ibu rajut sendiri.” Baju hangat hijau yang dulu tak sempat tersentuh sedikitpun dalam bayanganku terlihat begitu indah.
“I.. Ibu..” kali ini untuk memanggil namanya saja aku tak sanggup.
“Berjuanglah, Nak. Ibu di sampingmu..” Ibu menjawab panggilanku.
“Ratih tidak kuat lagi,”
“Jangan berkata seperti itu, Nak. Ini anakmu. Kau harus melahirkannya. Ia tidak mengetahui apapun. Bertahanlah, Nak.” Ibu mengusap keningku membuat luka oleh perbuatanku semakin perih terasa.
“Ibu,” aku kembali memanggil ibu.
“Iya, Nak,” Jawab Ibu tulus. Aku menangis mendengar jawaban yang keluar dari mulut Ibu. Jawaban ketulusan yang selama ini selalu kuabaikan. Bodohnya diriku, mengapa tak kurasakan kelembutan hati ibu.
“Aku aakkh…” dadaku sesak, lidah ini kelu oleh kesalahan bodoh yang membuatku terjerumus dalam jurang durhaka.
“Seharusnya Ibu yang meminta maaf padaku, karena Ibu tidak pernah bisa membuatku bahagia.”
Hentikaaan!
Aku mengerti..
Jangan bayangi aku dengan kalimat yang selalu kukeluarkan hanya untuk Ibu..
Perutku belum juga menghilang sakitnya. Semakin kepala mungil itu berusaha keluar, rasa sakit dan kencang yang teramat itu kembali datang. Apakah seorang ibu yang mengharapkan seorang anak mengalami hal yang sama sepertiku? Sakit yang menyiksa. Sangat menyiksa.
“Ibu,” di sisa kekuatanku, aku ingin mengucapkan sesuatu kepada ibu. Sebuah kata yang baru ku sadari ini harus di ucapkan. Ibu menunggu ucapanku. Ia mengusap keningku dengan lembut. Usapan lembut ibu membuatku tak kuasa untuk mengingat segala luka yang selalu ku goreskan kepadanya. “Ma.. Maafkan Ratih, Bu…” Akhirnya kata itu terucap. Air mataku tak mampu ku bendung. Sungguh aku merasa sepatah kata itu tidak sebanding dengan keperihan yang ibu terima selama menjalani hidup dengaku.
“Nak, Ibu sudah memaafkanmu… Maafkan Ibu juga, Nak..”
Suaranya bergetar. Jawaban itu memberiku semangat yang luar biasa. Dadaku lega, nafasku, kekuatanku kembali terkumpul untuk melahirkan anakku. Aku kerahkan tenagaku, kepala itu terus menyundul berusaha ingin segera merasakan hangatnya dunia, ia seperti tak sabar ingin melihat ibunya, seorang ibu yang tidak menginginkannya. Seorang ibu yang selalu durhaka kepada ibunya.
Aku mengejan sekuat tenanga.
Puncak kontraksi yang paling sakit tak tertahankan namun tetap harus dilewati adalah saat di mana kepala bayi dengan keras menyeruak keluar. Aku berteriak tak terkendali.
Suara bayi pecah. Tangisnya menyadarkanku bahwa aku sudah menjadi ibu sesungguhnya. Seperti mimpi.
Aku berhasil. Aku menjadi ibu. Baru saja ku nikmati hari di usia ketujuhbelasku, aku sudah memiliki seorang bayi mungil. Bidan Rospah meletakkan bayi merah itu di atas dadaku, ia seolah ingin aku menyaksikan hasil jerih payahku, seolah ia ingin memperlihatkan betapa bodohnya aku pernah berniat membuangnya karena dosaku. Untuk pertama kalinya aku menatap bayiku, ia begitu cantik. Bersih. Matanya masih tertutup. Bibirnya merah mengatup mencari sesuatu, mungil. Aku membelai rambut hitamnya yang masih sedikit berlumur darah. Tak kuasa aku menahan air mataku. Air mata yang tidak tau, apakah sebuah luapan kegembiraan, kesedihan atau bahkan penyesalan.
Entahlah.
“Cantik, seperti ibunya,” ucap Ibu pelan. Suaranya bergetar. Aku yakin, ia juga tidak bisa memahami perasaannya saat ini. Senang atau kecewa, melebur menjadi sebuah ketakjuban sosok mungil di atas dadaku ini.
Aku menatap wajah mungil itu. Sungguh aku tak percaya aku sudah memilikinya di saat aku masih ingin lebih lama mengenakan seragam putih abu-abuku….
“Ratih, jangan pejamkan matamu, Nak,” Ibu kembali berbisik,
Aku berusaha membuka mataku, namun tatapanku semakin tidak menentu. Wajah anakku semakin tak terlihat. Kepalaku berat dan merasa berputar. Aku merasa badan ini melayang meninggalkan semua.
“Ibu, kita harus segera membawa Ratih ke rumah sakit, ia mengalami pendaran hebat!”
Walau remang, ucapan Rospah masih ku dengar. Namun aku sudah tak bisa lagi menatapnya. Kelopak mata semakin berat, aku berusaha tidak menutupnya dengan segera. Aku masih ingin melihat anakku. Aku masih ingin mencium kaki ibu sebagai permintaan maafku.
Jangan biarkan aku pergi bertemankan dosa-dosa ini Ya Rabb.
Aku sudah tak sanggup. Nafas semakin berat, namun tubuh terasa semakin ringan. Aku pasrah menutup kedua kelopak mataku. Semua terasa menyakitkan. Kini, aku kembali bisa melihat. Melihat Ibu, melihat anakku dan melihat diriku yang terpejam dengan air mata yang tak sempat tertetes, dan kata penyesalan yang tak sempat terucap.

0 komentar:

Posting Komentar

Ayo Berbisnis