Senin, 01 Juni 2009

Emak

EmaK…
cerpen oleh: Thera ebrika Nur Fajri

Butiran air yang menetes tak kuasa ku tahan manakala teringat semua tentang emak dirumah yang saat ini tepat berada di hadapanku. Dadaku sesak, tanganku berkeringat dan kakiku gemetar mengingat semua itu. Kenangan pahit itu ku lalui tiga tahun yang lalu… Saat kepekatan membutakanku menderaku.
***
Suara dehaman emak sudah sangat biasa terdengar. Suaranya sudah sangat menakjubkan manakala dihiasi dengan nafas perempuan tua tak bersuami yang sepanjang hidupnya hanya bisa berbaring. Semua orang tahu, dimana-mana orang tualah yang membanting tulang dan menyebarkan peluh untuk anaknya. Tapi mengapa aku tak mendapatkan itu semua pada kehidupanku? Disatu sisi, aku ingin menjalani hidup tanpa harus memikirkan ‘bagaimana cara menebus obat Emak’ tapi disatu sisi aku tak ingin emak mati, karena bagaimanapun emak adalah orang tua kandungku yang tersisa sejak buyah* meninggal. Sejak emak sakit, aku tak lagi bisa menghirup segarnya pagi, merasakan sesaknya polusi dan menikmati cerahnya matahari. Yang aku lihat hanyalah purnama yang tak becahaya dan santapan yang tak beraroma. Membuatku buta akan segalanya….
Sudah limabelas tahun emak seperti ini. Terbaring lemah karena infeksi paru-parunya yang semakin gentar bertualang memburu tubuh renta emak. Usiaku yang telah meduduki kepala tiga membuatku khawatir akan segalanya. Emak dan masa depanku. Karena emak, aku tidak meneruskan sekolah dari sekolah menengah pertama, aku harus bekerja untuk membeli obat emak. Karena emak pula aku tidak sempat memikirkan mencari pendamping hidupku. Yah, termasuk masa mudaku yang hanya dapat kusaksikan seperti babaranjang yang melintas, satu.. satu.. lalu kemudian… habis.
“ Litha… Uhuk… Uhuk… “ emak memanggilku. Tanpa dikomandoi lagi, dengan sigap aku menyuapi sendok demi sendok teh pahit kesukaan emak. Aku sudah hafal betul apa saja yang emak suka dan inginkan atau tidak. Bagaimana tidak fasih begitu, bertahun-tahun aku mengurusi emak, dari makan, tidur, sampai buang air, aku, aku dan aku. “ Apakah peluh yang aku keluarkan untuk tetap mengabdi kepadanya hingga aku menderita, belum cukup untuk menggantikan peluh yang Emak keluarkan untukku? “ aku tak kuasa menahan untuk tidak mendengus kesal.
“ Litha..” rengkuh emak dengan suara yang berfibrasi aneh ala orang tua semakin membuatku bosan.
“ Sabar, Mak!” Bentakku kesal. Pasti Emak lapar. “ Sial, ada saja yang ia minta. Tidakkah dia berifikir bahwa aku juga butuh istirahat? “ gerutuku dengan suara pelan. Emak menunduk lalu terdiam. Aku berharap emak sudah pikun sehingga tidak mendengar lagi bentakan dan gerutuanku. “ Kalau aku dikutuk, bisa mati aku! “ bathinku konyol….
***
Aku yang tak memiliki kemampuan dan keterampilan apapun tidak menolak saat Hanif, teman kecilku dulu menawariku pekerjaan di tempat usaha yang sukses ia kembangkan. Dengan bermodalkan suara yang tak bermateri, aku bernyanyi, berharap aku dapat terus menyambung hidup serta menyembuhkan emak agar ia tak lagi menyusahkanku.
Aku berjalan lunglai, jam yang tertempel di warung yang setiap malam sepulang kerja ku lewati sudah menunjukan angka satu lewat tima belas menit. Sepatu kulit berhak tinggi yang sudah lusinan kali dilem aku jinjing karena haknya kembali patah.
“ Tante… Godain kita doooong! “ sekelompok anak muda yang sudah pantas aku panggil, “ Nak,” apabila aku menikah dikepala dua umurku berusaha menggodaku. Aku tak menghiraukan mereka.
Aku melempar sepatuku kebawah kolong meja kayu rapuh yang apabila ia bisa bicara ia akan menjerit minta pensiun dan dicarikan penggantinya, karena meja itu sudah turun temurun dari nenek, emaknya emak.
“ Uhuk… Uhuk… “ telingaku sudah sangat bosan mendengar itu semua. Obat yang selama ini aku beli dengan susah payah, ternyata tidak membuahkan hasil. Perasaanku tak menentu saat mendengar batuk dan tingkah emak yang semakin melayu. Aku merasa seperti mengurusi bayi tua yang hanya bisa merengek. Ada perasaan kasihan, tak tega dan tak berdaya. Namun tak jarang juga perasaan jahat menempel di hatiku, “ Tuhan, untuk apa lagi Emak dititipkan nyawa apabila hanya untuk menyiksanya dan menyiksa aku? “ Sekilas aku teringat tentang pikiran konyolku untuk pergi kota untuk mengadu nasib menjadi lebih baik di kota orang yang sebelumnya tidak aku kenal. Memang aku belum tahu apa yang akan aku lakukan kelak disana. Tapi, minimal aku dapat terbebas dari cekikan dan tuntutan untuk mengurusi emak. Aku rasa, aku sudah sangat berbakti padanya selama ini. Dan aku rasa, jasanya sudah lunasku bayar dengan semua pengabdianku.
Aku bangkit dari pembaringanku, lalu memasukan beberapa helai baju andalanku bernyanyi, alat-alat kosmetik dan keperluanku yang lain. Tekadku sudah sangat bulat. Gajiku bulan ini sudah aku pakai beli obat emak.
Tapi, aku tidak akan berlari begitu saja. Aku menitipkan emak kepada bu Marjinah tetanggaku yang selalu menjaga emak saat aku bekerja. Dia sangat baik, aku percaya bahwa dia akan menjaga emak dengan baik selama aku pergi.
“ Bu, aku titip Emak, aku janji saat tugasku sudah selesai aku akan kembali, “ pesanku pada bu Marjinah. Bu Marjinah mengangguk. Sebelum pergi, aku mengintip emak yang tidak sadar karna tidur yang melelapkannya, bahwa sebentar lagi anaknya akan pergi meninggalkannya dan akan mencari kebahagiaannya.
Aku mengangkat tasku yang berisi berpotong-potong baju, berjalan pelan. Sesekali aku memalingkan wajahku kerumah tua yang beberapa menit kemudian tidak akan aku lihat lagi. “ Emak, maafkan aku… Aku yakin Emak merestui aku untuk mencari hidup yang lebih baik… Emak, aku akan kembali dengan membawa kebahagiaan… dan aku akan membaginya pada Emak. “
***
Emak… Tiga tahun sudah aku meninggalkanmu. Apa kabar, Mak? Mak, aku sekarang sudah memiliki keluarga. Aku sudah memiliki suami, dan… sebentar lagi aku akan memiliki anak dan aku akan menjadi seoang ‘EMAK’ seperti Emak. Emak, aku sekarang sudah mendapatkan kebahagiaan. Emak sehat? Mak, aku sangat merindukan Emak… Aku sangat durhaka padamu, Mak. Durhakaku sudah melebihi Malin Kundang yang dikutuk Emaknya menjadi batu. Mak… Nanti saat aku sudah menjadi seorang Emak, aku akan kembali… Mak…
“ Aaaaauuu… To…Toloooong… “ belum selesai aku mengakhiri tulisan buku harian yang hampir tiap hari aku tulis untuk menebus kerinduanku pada emak, perutku sudah didera sakit yang teramat sakit. Kencang, dan amat sakit. Aku memejamkan mataku, aku menarik nafas sepanjang mungkin, berusaha mengurangi rasa sakit… Aku berusaha bangkit dari dudukku, tapi tidak dapat, dan…
“ Bukkk… “ tubuhku terjatuh karena sakit yang terus mendera perut buncitku. Tiba-tiba, dari selangkanganku mengucur ketuban yang menandakan bahwa sebentar lagi aku akan segera menjadi seorang emak.
“ Aaaaaaauuu… Sakiiiiiit…. “ aku meremas perutku menahan sakit.
“ Litha… Kau kenapa? “ suamiku datang. Aku sangat bersyukur ia datang. Aku digapahnya ke mobil. Sepertinya dia sudah tahu bahwa aku akan melahirkan. Suamiku sangat baik, usianya lima tahun dibawahku. Saat aku kebingungan apa yang akan ku lakukan di kota, dia yang menolongku.
“ Aaaaaau…. “ aku kembali menjerit, suamiku sangat panik.
“ Mak, apakah kau dulu mengalami sakit yang luar biasa seperti yang sedang aku derita ini? “ bisikku dalam hati. Eranganku tak dapat menyembuhkan sakit. Anak didalam kandunganku seakan sudah tidak sabar ingin segera melihat dunia.
Sesampainya dirumah sakit, aku digiring kesebuah ruangan dengan menggunakan brankar, di ruangan itu ada beberapa orang dengan pakaian putih lengkap dengan penutup mulut dan sarung tangan.
“ Aduuuuuuh…. “ seketika aku tidak peduli dengan semua yang aku lihat. Aku benar-benar ingin mengakhiri ini semua. Aku mulai berusaha melahirkan anakku. Dokter membimbingku. Sekuat tenaga aku mengejan. Ribuan peluh yang tidak terhitung mengalir di setiap pori tubuhku. Nafasku saling berburu untuk mendapatkan udara. Anakku sepertinya bandel, kepalanya saja belum nampak. Sakit diperutku bertamah hebat.
“ Emaaaaaaaakkkk….!!!! “
“ Oeee… Oeee…Oeee… “ suara mungil memecah keheningan. Suamiku mencium keningku, seolah-olah memberiku medali emas akan perjuanganku barusan. Tatapan mataku remang…
“ Perempuan… Cantik sepertimu… “ bisiknya ditelinga kananku.
Aku tersenyum diantara ketidak sadaranku. “ Semoga kau tidak tumbuh durhaka seprti ibu, Nak… “ bisikku…
Aku sangat kaget mendapati aku sendiri… Aku sendiri di ruangan gelap ini. Oh… Apakah aku sudah mati. Ya Tuhan… Ternyata aku sudah sangat bodoh berkata bahwa aku sudah lunas membayar jasa emak. Beginilah rasanya menjadi seorang emak Berusaha diantara hidup dan mati untuk melahirkan anaknya. Tak perduli apa yang akan terjadi kelak pada dirinya.
***
“ Litha… “ aku memalingkan wajahku kearahnya. Aku mendapati ibu tua berlilitkan kain dikepalanya.
“ Bu Marjinah… “ tak perduli, telapak tangannya yang kotor langsung ku ciumi. Bu Marjinah melepasnya dengan paksa. “ Ibu… Mana Emak? “ aku bertanya. Aku hanya bisa bertanya kepadanya, karena kepadanya aku menitpkan emak.
“ Kau telah membuang Emakmu sendiri! Dasar anak durhaka! “ bentak Bu Marjinah dengan suara bergetar. Ia membelakangiku, seolah ia malas menatap wajahku. Air mataku menetes…
“ Kemana saja Kau? “ Tanya Bu Marjinah sinis.
“ A… Aku bekerja ” Jawabku terbata-bata.
“ Bekrja? Tidakkah kau dapat pulang, hanya sekedar untuk menengok Emakmu? “ Bu Marjinah kembali bertanya dengan nada suara sama.
“ A… Aku… “
“ Emakmu meninggal setengah tahun yang lalu…! Tidak pernah absen mulutnya memanggilmu. Kering air matanya menangisimu. Hingga Ia akan menghembusnya yang terakhir Ia memanggilmu sambil berkata… “ Bu Marjinah menghentikan ceritanya, menarik nafas, sambil menghapus air matanya,
“ Litha… kembalilah, Nak… “
“ Emaaaaaaakkk!!! “ aku menjerit sekuat tenaga. “ Emak… Maafkan Litha… Maaaaak… Maafkan Litha…. “ aku menangis. Dengkulku lemas.Aku jatuh tersungkur ke tanah. “ Emaaaaaak… Ini Litha Maaaaaaak…!!! Ini Litha sudah kembali… “ telapak tanganku menggenggam tanah kering yang mendebu.
“ Percuma kau menangis. Emakmu tidak akan pernah kembali. Apa kamu tahu, Saat kau dalam kandungan, kau lahir, hingga ia mati… Dia sangat menyayangimu… “ Ucap Marjinah meninggalkanku berdua dengan penyesalan yang perlahan kelak akan membunuhku.
= S E L E S A I =

0 komentar:

Posting Komentar

Ayo Berbisnis