Selasa, 02 Juni 2009

Gumintang

cepen oleh: Thera Febrika Nur Fajri

Gumintang berjalan terengah-engah sambil memegangi perutnya. Mulutnya berlumuran cairan merah pekat yang terus mengalir. Ini semua diluar rencananya. Ia tidak tahu, bagian mana yang ia lewati hingga ia bisa tertangkap saat tangannya mencongkel perlahan jendela rumah Pak Kosim, si kaya itu. ”Sial!” batinnya. Tidak dapat harta malah dapat siksa. Gumintang mengerutkan alisnya, dan menggigit bibir bawahnya menahan perih yang tak terkira akibat pukulan warga. Tidak tahu berapa buah kayu yang mereka daratkan ke tubuhnya. Gumintang berfikir keras, bagaimana caranya agar rencana keduanya akan berhasil. Pak Kosim. Selain memiliki harta yang melimpah, Pak Kosim juga memiliki seorang anak gadis yang amat rupawan. Setiap lelaki pasti akan mengeras melihatnya, termasuk Gumintang, pria setengah abad yang sebentar lagi akan mati, yang sudah sepuluh tahun sendiri. Setelah membersihkan semua rasa perih dan nyeri hebat itu, ia duduk dipinggiran tempat tidur tak beralas, lalu kembali memutar otaknya. Gumintang tak tahu lagi harus bagaimana agar manusia-manusia itu tak mengetahui renacana bejatnya, bisa mati ia bila kembali tertangkap. Pasti manusia-manusia itu sudah mengincarnya, sudah menjaga ketat rumah Pak Kosim. Seandainya di desa ini bukan hanya Pak Kosim yang kaya raya dan memiliki anak gadis yang tupawan, pasti Gumintang tidak akan gentar mendilik rumah pak Kosim. Di desa ini, hanya Pak Kosimlah yang kaya raya. Ia adalah juragan singkong. Ditengah rincunya fikirannya, tiba-tiba Gumintang merasa ada susuatu hal bodoh yang selama ini tak pernah ia rasakan. Yaitu rasa kesepian yang teramat. Sepuluh tahun lalu, ia masih memiliki anak gadis berusia tujuh belas tahun yang amat lucu, Ratna namnaya. Kepang duanya sangat cantik, secantik senyumannya. Persis seperti ibunya. Cantik. Ah, tapi itu dulu. Sekarang Ratna dan ibunya tak tahu kemana. Mereka pergi karena melihat Gumintang, pekerjaan dan hidunya. Gumintang sudah tiga kali masuk penjara, namun sudah tiga kali pula ia melarikan diri. Hidupnya kini sudah tidak tenang. Namun impiannya untuk kaya tak bisa ia kendalikan. Iapun bingung, kelak bila ia sudah kaya, hendak kemana ia pergi untuk menkmati kekayaannya..
”Kriuk,” sebuah suara tidak mengenakan terdengar numpang lewat, mengalaarmkan bahwa perutnya tidak sanggup lagi menahan rasa lapar yang tak kunjung di sembuhkan. Gumintang menoleh kekiri kanan, mencari-cari apa yang bisa ia makan. Tidak ada apa-apa. Disini hanya ada satu dipan untuk tidur, satu kursi dan satu meja kayu rapuh. Gumintang mendapatkan ini semuapun adalah suatu keberuntungan. Tak ada yang tahu, bahwa penunggu sepetak rumah ini adalah seorang Gumintang, yang pencariannya hampir sama dengan pencarian teroris. Gumintang berusaha melupakan semuanya, keluarganya dan laparnya. Gumintang harus bersabar hingga malam tiba, karena ia akan mendapatkan uang banyak nanti malam. Ia yakin.
Gumintang merogoh kantong celananya. Ada sebuah logam kecil. Limaratus, hanya itu yang ia temukan. Uang ini pasti uang pemilik asli celana ini. Saat Gumintang memalingnya dari jemuran, ia tidak sempat merogoh kantongnya dulu. ”Lumayan, kebetulan saya lapar”
Gumintang mengenakan topi bau yang ia temukan di got, rambut gondrongnya ia gulung dan dimasukan kedalam topi itu. Ia menunduk sambil menatap lurus ke tanah. Semoga tidak ada manusia yang menyireninya. Gumintang mengendap keluar rumah, menuju sebuah warung yang tak jauh dari rumahnya. Tidak ada siapa-siapa, hanya ada dua ibu-ibu, satu penjual, dan satu lagi pembeli. Mereka terlihat akrab tertawa seperti tidak memikirkan suami mereka yang mungkin saja sedang membanting peluh untuk menghidupi keluarga. Gumintang mengambil sebuah roti kecil, merogoh kantongnya, lalu...
”...katanya sih namanya Gum...Gum... ah, saya lupa siapa namanya,”tiba-tiba ibu pembeli meneruskan pembicaraannya. Gumintang tersadar bahwa yang sedang mereka bicarakan adalah dirinya. Gumintang berhenti merogoh kantongnya, ia ingin mendengarkan apa saja yang ibu-ibu itu tahu tentang dirinya. Seberapa jauhkah ia terkenal?
”sudah tiga kali bolak-balik keluar masuk penjara belum jera juga! Terbuat apa hatinya itu...” si penjual ikut berpartisipasi, sekarang giliran si pembli mengangguk-angguk.
”Maaf bu, seperti apa Gumintang itu?” Ucap Gumintang. Ia ingin tahu, apa manusia-manusia yang membencinya itu tahu bahwa manusia dihadapan mereka itulah Gumintang, si maling yang melebihi seorang selebritis.
”Hm, katanya dia itu hitam, bungkuk dan...” ibu pembeli menjawab dengan santai, ”salah.”bathin Gumintang bersorak.
”Dia memiliki bekas baretan besar dikepalanya, dan rambutnya panjang.”
”benar! Untung saja aku mengenakan topi. Bisa pingsan kalian kalau aku melepaskan topiku.” bathin Gumintang lagi. Ia seperti seorang presenter kuis di televisi. Gumintang meletakkan uang lima ratusan untuk membeli roti yang ada di tangannya, lalu pergi begitusaja. Terlihat kekecewaan yang teramat dari kedua wajah ibu penjual dan pembeli itu, karena Gumintang tidak mengucapkan terimakasih atas informasi yang telah ia lontarkan atau hanya sebuah kata permisi untuk mengakhiri pertemuan. Dasar manusia-manusia Indonesia, sangat sopan.
Gumintang berjalan sambil melahap roti itu, sekali habis. Hanya bisa mengisi secuil bagian perutnya yang saat itu sedang sangat lapar. ”Sabar, apabila aku sudah kaya, akan ku isi kau dengan makanan-makanan yang enak” ucapnya sambil meraba perut keroncongannya.
Sebelum masuk rumahnya, Gumintang mendapatkan keramaian. Katanya Bu Siti, tetangganya tiba-tiba saja jatuh pingsan, lalu mati. Ia seorang diri, anaknya tidak ada, apalagi suaminya yang telah mati lama. Bi Siti tinggal sendiri sepertinya.Tidak ada yang mau menguburkan Bu Siti, karena Bu Siti dikabarkan mati tidak wajar, kena santet atau apalah itu. Gumintang mendekatkan diri pada mayat Bu Siti yuang mati meringkuk. Gumintang mengangkat tubuh Bu Siti, menugaskan sebagian ibu-ibu untuk membersihkan tubuh Bu Siti, sementara ia menggali lubang kubur. Gumintang tidak ingin nasib ibunya dulu mendera bu Siti. Ibu Gumintang adalah seorang jahat seperti dirinya, ia adalah seorang perempuan liar yang mau pada siapa saja, asal orang itu ada uang, orang-orang sangat membenci ibu Gumintang, namun ibu Gumintang sangat baik pada dirinya dan pada saat itu masih terlalu kecil untuk Gumintang mengerti mengapa manusia yang lain sangat membenci ibunya. Hingga akhirnya ibu Gumintang ditemukan mati diantara pohon-pohon singkong, telanjang bulat. Tak ada orang yang menaruh kasihan padanya. Mayatnya dibiarkan tiga hari disana, Gumintang menangis, sambil memeluk ibunya, hingga bau menyergap ibunya, ia bergerak. Gumintang memanggil semua orang, siapa saja dia, asal bisa menguburkan ibu. Akhirnya ada seorang bapak yang luluh, kasihan pada Gumintang kecil. Akhirnya, hiduplah Gumintang seorang diri, hidup liar dan tidak terkendali setelah obunya dikuburkan. Tidak ada yang mau merawatnya, karena keadaan ekonomi keluarga desanya tidak baik.
Gumintang menepuk-nepuk kedua telapak tangannya membersihkan tanah-tanah yang mengotorinya. Bu Siti telah ia semayamkan, beres sudah. Untung saja, ia selalu bekerja pada malam hari, jadi hingga kini, tak ada sorangpun yang mengenalinya.
Gumintang berjalan pulang, tak ada seorangpun yang mengucapkan terimakasih padanya, karena memang tidak ada yang perduli. Ternyata aku masih memiliki hati. Bathin Gumintang sambil berjalan masuk kerumahnya, lalu tertidur hingga malam tiba.
***
Akhirnya saat yang dinantipun tiba. Hari sudah gelap, sudah menunjukan angka 2malam. Tepat sekali, susana mendung akan membantunya. Saat seperti ini pasti manusia akan terlelap tidur.
Gumintang memanjat dinding tinggi yang berada dibelakang rumah Pak Kosim, tinggi, namun itu perkara mudah bagi Gumintang. Setelah itu Gumintang mencongkel pintu belakang rumah Pak Kosim dengan perlahan, perlahan sekali hingga... terbuka. ”kali ini tidak boleh gagal” pekik Gumintang dalam hati.
Gumintang sudah memasuki bagian belakang rumah besar ini, ia mendapati sebuah kamar yang pintunya sedikit terbuka, ”ah, pasti itu kamar pembantunya” bisik Gumintang. Gumintang berfikir sejenak. Dia sangat menginginkan tubuh anak gadis si kaya ini, tapi tak ada rotan, akarpun jadi. Dia mengeluarkan obat bius andalannya untuk membius. Gunibtang memilih pembantu Pak Kosim untuk ia nikmati. Sudah lama kebutun biologisnya tidak terpenuhi, dan inilah saatnya. Tak mendapati anak Pak Kosim, pembantunya pun sudah cukup Gumintang masuk perlahan.
”Wanita muda yang malang dan cantik” ucap Gumintang lembut. Gumintang menyemprotkan cairan pembius itu sedikit, lalu mendekap mulut wanita itu. Sempat terdengar sedikit pekikan, namun itu tak lama. Gumintang mulai bermain, hingga puas.
Gumintang turun dan merapikan kembali pakaiannya setelah selesai, ia tidak boleh berlama-lama, karena sebentar lagi pagi dan ia harus melancarkan rencana selanjutnya lagi. Saat membereskan pakaian, seketika Gumintang tersentak kaget, kakinya lemas. Meja samping tempat tidur wanita itu ada sebuah foto. Foto itu sangan ia kenal. Foto seorang wanita dan pria yang sedang menggandeng anak gadis kecil berkepang dua. Wanita itu adalah Asih, istrinya, berarti.... ini ..... Ratna....
Gumintang gemetar. Dia sudah menghancurkan hidup anaknya sendiri. Ternyata anaknya bekerja sebagai pembantu dirumah pak Kosim selama ini. Gumintang lemas, keluar dengan lunglai dan menangis. Semua rencana ia urungkan. Tega sekali ia telah menodai anak gadisnya sendiri.
***
”Masuk!” Bentak seorang pria berseragam polisi menendang Gumintang. Ini adalah pilihan Gumintang. Mimpinya untuk menjadi kaya telah sirna. Impiannya saat ini adalah ingin menebus kesalahannya pada Ratna, anak tersayangnya.
”Maafkan Bapak, Nak.” ucap Gumintang lirih dan tertunduk.

0 komentar:

Posting Komentar

Ayo Berbisnis