Selasa, 02 Juni 2009

Kilal Anugrah

cerpen oleh : Thera febrika Nur Fajri

Dari dalam kamarku, tampak sepetak kumpulan tempat tinggal yang ku belum menyangka, bahwa itu tempat tinggal manusia. Makhluk yang sama-sama terlahir dari rahim seorang wanita, yang juga manusia. Sepertiku. Pagi, saat mataku terbuka. Siang diantara kesibukanku, dan malam ketika lelah menyergapku, jendela kamarku yang berada di lantai dua rumah hasil kerja kerasku sengaja takku beri tirai, karena aku ingin selalu menatap lukisan Tuhan yang terus berubah. Malam, gelap. Siang, benderang.
***
Aku menjalarkan kakiku pada kursi malas kesayanganku. Kursi itu ku hadapkan tepat di depan jendela, sehingga aku bisa menikmati sebuah drama yang Tuhan anugrahkan. Sebuah kesempurnaan. Aku ingin beristirahat, sebelum lelah menderaku. Aneh memang, namun itulah pemikiranku. Mataku tertuju pada sebuah tempat tinggal. Dindingnya terbuat dari papan tipis, atapnya beratapkan anyaman ilalang yang dikeringkan. Hujan pagi ini membuatku ikut menggigil membayangkan, seberapa menderitanya mereka yang berpenghuni di sana. Begitu miskin dan menderita sepertinya. Aku tidak ingin melulu meyalahkan presiden dan dedengkotnya, karena rakyatnya miskin sepertin apa yang sedang aku lihat. Karena tidak sepenuhnya mereka tukang sedot hak orang, atau bahasa kerennya korupsi. Bapakku dulu juga miskin. Lebih miskin dari mereka. Bapak, mamak dan bapaknya bapak dulu tak memiliki tempat tinggal malah. Namun, siapa duga, sekarang kakek sudah menjadi pengusaha besar? Bukankah semua itu kembali ke usaha masing-masing dan kehendak Yang Kuasa? Namun, aku tak juga membela bapak pemimpin dan dedengkot-dedengkotnya, karena mereka gagal menangani kesusahan rakyatnya. Bisa dibakar masa nanti aku, kalau aku tidak membela Pak Presiden dan wakil rakyat. Mungkin mereka sudah usaha, namun tak rata dan tak ada pemikiran jangka panjang untuk itu semua. Itulah mengapa, aku tak ingin terlalu ikut memperdebatkan sebenarnya siapakah yang salah, pemerintah dengan negara, ataukah manusia dan usaha? Karena menurutku itu suatu kebodohan besar. Tanggung. Lalu, mereka kemanakan kehendak Tuhan? Harusnya mereka menambahkan siasat dintara siasat mereka, ”bagaimana cara berdoa yang baik agar Tuhan memberikan jalan terbaik?” Diantara perdebatan opini dalam lamunku, mataku menangkap sebuah sosok keluar dari tempat tinggal yang selalu ku perhatikan jarang ada manusia di dalamnya. Anak kecil. Usang, sepertinya dia sangat bau. Yeak. Ia keluar tergopoh-gopoh memegangi perutnya. Menuju beranda rumahnya, lalu duduk. Dari kejauhan tampak ia sedang tak berbahagia. Aku merenung. Mataku tetep tertuju pada manusia kecil berkepala botak itu. Sesekali ia menyeka pipinya dengan lengan kanannya. Begitu seterusnya
***
”Terimakadsih, dok” ucap kedua pasang suami istri itu dengan wajah berseri.
Aku tersenyum. Menjadi orangtua seperti mereka adalah impianku. Menggendong atau menggandeng seorang makhluk mungil yang ku cinta. Namun itu sudah menjadi sebuah mimpi. Pendamping hidupku meninggalkanku karena aku tak bisa mewujudkan mimpiku, keinginannku, yang juga keinginannya, menjadi orang tua yang melahirkan seorang bayi dari rahimku. Rahimku sudah tak berfungsi lagi. Seberapa banyakpun sperma yang membuahi sel telurku, percuma. Aku mandul.
”Mang, jangan lupa di kunci ya ruangan saya,”
”Baik, dok” Aku tersenyum sambil mengangguk ke arah Mang Ndong, penjaga tempat praktikku. Arlojiku sudah menunjukan angka sembilan malam, malam ini banyak sekali wanita yang akan menjadi seorang wanita yang sempurna. Aneh memang, aku membantu mereka, pasangan yang datang penuh harap dan pulang dengan kebahagiaan, sedangkan aku sendiri tak bisa seperti mereka. Mengandung bayi. Terkadang aku iri. Namun aku tak tahu, pada siapa aku salahkan ini semua. Malam ini begitu dingin, mungkinn karena baru saja selesai hujan. Aku membuka pintu mobil yang ku parkir tepat di depan tempat praktikku. Saat aku hendak masuk ke mobil, aku berhenti. Telingaku mendengar gigilan seseorang. Aku membaikan badan. Aku dapati seorang anak kecil, hanya berbalut kulit di malam sedingin ini. Ia memeluk kedua lututnya yang dilipat. Meringkuk seperti trenggiling. Aku menghampirinya. Ia terlihat kaget, hampir saja ia lari. “Tunggu sebentar,” cegahku. Wajahnya pucat. Giginya beradu, menggigil.
“Ibumu mana?” tanyaku. Ia menggeleng. Apa dia anaknya Mang Ndong? Tapi, setahuku, Mang Ndong tak punya keluarga di sini. Aku berfikir sejenak, apa yang harus saya lakukan untuknya, tak perduli siapa dia.
“Tunggu sebentar.” Aku sedikit berlari menuju mobilku, mengambil baju hangat yang selalu aku sediakan kala dinginn menderaku. Aku menyelimutinya.
“Dok, siapa anak ini?” Mang Ndong terlihat kaget saat menemukanku bersama anak kecil ini..
“Mang, tolong buatkan teh manis hangat,ya” aku tak menjawab pertanyaan Mang Ndong. Percuma saja, akupun tak tahu dia siapa. Aku mengangkat tubuh bekunya, lalu ku tidurkan di dalam mobilku yang berada tepat di samping kami. Aku mengusap perlahan keningnya, “tega sekali ibunya, meninggalkan anak sekecil ini sendiri.” Bathinku. Mang Ndong datang dengan segelas teh hangat di tangannya. Aku langsung meminumkannya ke anak itu.
“Pelan, masih panas.” Ucapku. Anak itu mengangguk. Ia meniupnya dulu sebelum meminumnya. Anak yang pintar. “Ya Tuhan, mengapa aku merasa sangat menyayaginya? Begitu mendadaknya aku merasakan ini. Siapa anak ini? Apakah ia penjawab doa-doaku?” Tanyaku konyol.
***
Namanya Kilal. Saat ku temukan ia sedang pergi mencari ibunya. Kilal anak yang cerdas, tak ada pertanyaanku yang tak dijawab olehnya. Jawaban yang sedikit liar, jawaban yang tak di miliki oleh anak-anak seusianya.
”Kilal ingin mencari ibu. Katanya, Ibu pergi membeli gula. Tapi sampai malam, malam, malam lagi ibu tidak pulang. Padahal, Kilal lapar” celotehnya. Aku mendengarkan celotehannya. Ekspresinya sangat menggelikan, setiap ia berbicara, tangangnya tak bisa diam. Layaknya Pak Susilo yang sedang pidato.
“Nama mbak siapa?”tanyanya padaku. Aku tersenyum, ”panggil saja aku Mama.” Ucapku sambil membelai kepalanya. Ia mengangguk-angguk. Banyak kejadian lucu selama dua hari aku bersamanya, misalnya saat itu Kilal memanggilku dengan sebutan, “ Mbak mama“.
Tidak tahu kenapa, tak pernah terbesit dalam pikiranku untuk mengembalikannya pulang, atau menanyakan dari mana asalnya. Aku terlanjur menyayaginya. Dua hari Kilal menghipnotisku dengan keceriaannya. Aku tahu, anak seusianya sedang mendambakan seorang ibu. Dan akupun tahu, bahwa aku sangat mendambakan seorang anak. Begitu kebetulan yang sangat membahagiakan bagiku.
“Mama, apa Mama tau, berapa umur Kilal?“ tanyanya.
“Hmmm, kira-kira umur Kilal, lima tahun.” Terkaku.
“O” jawabnya singkat, lalu terdiam. Kilal terdiam, lama sekali. Dua bola matanya kosong, menerawang, jauh sekali.
”Ada apa, Kilal?” tanyaku sambil membelai kepala botak yang baru sedikit di tumbuhi rambut. Kilal tidak menjawab, ia terus terdiam. ”Kilal lapar? Mama buatkan makanan ya?” tanyaku. Kilal pun tak menjawab.
”Kilal takut bapak.” Ucapnya lirih. Aku tak berkomentar apa-apa. Aku tak mengerti maksud ucapannya barusan.
”Setiap hari, Kilal dipukul pakai rotan untuk ibu memukul jemuran kasur yang Kilal pipisin. Tapi Kilal tetap sayang Bapak. Kata Ibu, Bapak marah juga karena bapak sayang Kilal.”
” Mengapa hanya Bapak? Kilal tidak kangen dengan ibu Kilal?”
” Ibu sudah dikubur. Kata bapak, Ibu nggak boleh Kilal kangenin lagi, karena dia
nanti bisa nangis kalau Kilal kangen. Padahal, Kilal kangen banget...” semakin lama, ucapannya semakin lirih. Tangisnya pecah saat ku dekap. Dalam dekapanku, Kilal berbisik, ”Kilal, kangen Bapak... Ibu juga.” Aku peluk ia hingga tertidur. Aku dapat merasakan apa yang anak ini rasakan. Rasa kesepian yang dideranya saman saja dengan rasa kesepian yang menderaku.
***
”Mama!!!! Berentiiiiiii...” pekiknya saat aku akan melewati sebuah gang kecil tak jauh dari rumahku. Aku berniat mencarikan alamat Kilal, namun belum sempat aku menekan pedel gas mobilku, Kilal sudah menyuruhku untuk berhenti.
”Kenapa?” Tanyaku bingung.
”Itu!”
Aku mengerutkan alis. Apa maksud anak ini. Apa rumahnya masuk kedalam gang yang tepat di samping rumahku ini?
”Ma, buka pintunya.” Pinta Kilal. Aku menurutinya. Kilal langsung keluar, namun aku bingung, apa yang harusnya aku lakukan.
”Ayo, Ma! Rumah Kilal, masuk situ!” Kilal menunjuk gang tikus itu. Aku turun dari mobil. Menutup pintu. Belum sempat aku mengunci pitu mobilku, tanganku sudah di tarik oleh Kilal. Kilal menarikku, memasuki gang kecil, sumpek dan bau itu. Dinding sebelah kiriku adalah pagar rumahku. Kilal terus menarik tanganku sambil sedikit berlari. Wajahnya terlihat girang sekali. Kakinya berhenti tiba-tiba, nafasnya terengah-engah, seraya berkata, “ini rumah Kilal, Mama!“ pekiknya. Mataku terbelalak tak percaya. Aku berbalik kebelakang. Ternyata Kilal adalah anak itu. Anak yang saat itu menangis. Anak yang saat itu ku bayangkan, betapa bau dia.
Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari dalam. “Kilal....“ aku langsung menyusul Kilal ke dalam rumahnya. Mataku terbelalak manakala melihat Kilal memeluk tubuh kaku dengan mulut berlumuran cairan putih.
”Bapak... Ini Kilal. Bapak kenapa?” Kilal menangsi sambil tak juga mengendurkan rengkuhannya.Aku menghampiri Kilal. Mememriksa denyut nadi bapaknya. Nihil. Kilal sudah tak punya siapa-siapa lagi kini.
”Ya ampun, Pak Rahman!” terdengar suara seseorang dari depan pintu.
“Kilal, Bapakmu kenapa?” tanya orang itu. Kilal menggeleng sambil sesekali menyeka tetesan air matanya.
Bapak itu menjulurkan tangannya ke hidung bapaknya Kilal. ”Innalillahi wa’innailahi roji’un...” Ucapnya seraya.
”Maaf, ibu ini siapa?” tanya orang itu kepadaku.
”Dia Mama Kilal, Pakde” Orang itu mengerutkan alisnya tanda tak mengerti.
”Kilal saya temukan di depan tempat bekerja saya, Pak.” Jawabku. Sepertinya pria itu cukup mengerti maksudku.
”Kasihan anak ini. Bu. Dia tak memiliki siapa-siapa lagi kini. Semalam, Bapaknya pulang dalam keadaan mabuk. Dari Kilal di kandung, hingga ia lahir dan beranjak besar sekalipun ia tak pernah mengakui Kilal sebagai anaknya. Karena Kilal dianggap anak haram ibunya dengan orang lain. Namun semalam, dalam keadaan mabuk, Bapaknya selalu menjerit dan memanggil-manggil nama Kilal.”
Pria itu mengelus kepala Kilal. ”Tolong rawat dia, Bu.” ucap pria itu liri.
Aku dan istriku belum mampu menyandang biaya hidupnya.
”Bapak tenang saja, saya sangat mencintai Kilal. Saya tidak akan menyia-nyiakan dia.
”Terimakasih, Bu. Anak secerdas Kilal memang pantas mendapatkan yang terbaik.”
Aku dan Pria itu membujuk Kilal untuk pergi meninggalkan bapaknya. Kilal bersih keras tidak mau melepaskan bapaknya yang sudah tidak bernyawa lagi itu. Namun akhirnaya Kilal bersedia setelah aku dan pria itu menjelaskan bahwa bapaknya tidak akan
kembali lagi. Kilal mencium kening bapaknya, air matanya tak henti mengalir.
”Kilal sayang bapak.” ucapnya untuk terakhir kali di te;inga kanan bapaknya.
***
”Hati-hati ya sayang. Jangan lupa pakai baju hangat yang Mama kirimkan. O iya, Mama kirimkan juga bubuk wedang jahe kesukaan kamu. Belajar yang rajin, jangan lupa beribadah, jangan kecewakan Mama.” Ucapku kepada Kilal.
”Iya Mamaku,” jawab Kilal dari sebrang.
”Ich liebe dich, Mama” ucap Kilal sebelum mematikan telponnya. Sekarang Kilal yang dulu ku temukan dan yang kini telah menjadi anakku, menuntut ilmu di negeri sebrang. Jerman menjadi pilihannya.
“Kilal pingin menjadi dokter yang hebat seperti mama“ Itu yang mendorong ia pergi ke sana. Di belakang namanya, ku tambahkan sebuah nama. Kilal Anugrah. Karena, Kilal adalah Anugrah yang Tuhan titipkan untukku

0 komentar:

Posting Komentar

Ayo Berbisnis