Rabu, 14 Oktober 2009

Mana Ayahku

oleh: Thera Febrika NF

Ibu ingin menikah lagi? Apa-apaan ini? Baru kemarin ibu diceraikan oleh suami ketiganya, kini ia berkata bahwa ia baru saja menemukan bakal calon ayah baru untukku? Tidak ada masalah bagiku ibu mau menikah dengan siapa saja ataupun berapa saja, namun sampai sekarang, aku sendiri belum jelas siapa ayahku sebenarnya. Konon ibu pernah bercerita, ayahku adalah lelaki pertama yang ia ‘kawini’ bukan ‘nikahi’. Aku adalah anak dari lelaki tidak sah ibu. Ibu pernah bercerita sedikit tentang ayah dan mengapa ayah lebih memilih pergi ketimbang menikahi ibuku yang saat itu sedang mengandung aku. Kata ibu, ayah adalah seorang pekerja keras, pekerjaannya tidak tetap, ia selalu berpindah-pindah, dari tempat satu ke tempat lain. Itulah mengapa ayah tidak siap menjadikan kami satu keluarga. Ibu menceritakan itu semua dengan mimik muka yang sangat datar. Tidak ada goresan rasa sedih atau kekecewaan saat menceritakannya. Akupun tidak tahu kenapa bisa seperti itu.
“Apa ibu bersedih saat ayah tidak ingin menikahi ibu?” bagi sebagian orang pertanyaanku ini adalah pertanyaan yang sudah pasti jawabnya apabila dilontarkan pada seorang wanita yang tidak dipertanggung jawabkan kehamilannya seperti ibu. Namun, masih sembari mengoleskan lipstick merah mudanya, ia menggeleng singkat dan menjawab, “itu sudah pilihan ayahmu untuk tidak memilih ibu. Ibu akan menderita apabila semua itu di paksakan.”
Aku sadar, reputasi ibu sudah jelek di mata masyarakat. Semua orang yang berpendapat, ibu adalah perempuan murahan yang suka bergonta ganti suami. Namun, bukankah cara seperti itu lebih halal dibandingkan ibu harus kumpul kebo dengan para lelakinya? Yah, semua itu kembali lagi kepada siapa yang memikirkannya.
“Lalu, siapa yang akan menjadi ayahku lagi, Bu?” tanyaku pelan.
“Lanang,” sapa ibu pelan. Lanang adalah bahasa jawa untuk laki-laki, sapaan yang sering ibu lontarkan padaku, “siapapun ayah barumu nanti, itu pasti yang tebaik buatmu.” Bisik lembut ibu. Malam ini ibu begitu cantik. Ibu selalu berdandan sangat cantik setiap malam sabtu. Yah, hanya malam sabtu. Pekerjaan ibu adalah tukang salon keliling, itupun pekerjaan siang hari. Kata ibu, setiap malam sabtu ada langganannya yang mengharapkan ia datang.
“Lanang, jangan lupa kunci pintu. Belajarnya jangan hingga larut, nanti kamu sakit.” Pesan umum yang tidak pernah ibu lupakan.
***
Namaku Ali, Satrio Ali. Aku anak pertama dari lelaki pertama ibuku. Lelaki pertama tapi bukan suami pertama ibuku tepatnya. Aku menerima suratan hidupku dengan ikhlas, walaupun aku agak bingung bagaimana alur sesungguhnya kehidupanku. Aku memiliki ibu dan banyak ayah. Karena ibuku sudah berkali-kali menikah, tapi bukan dengan ayahku. Sejak kecil aku dirawat dan dibesarkan oleh seorang wanita yang hingga tua kini masih memiliki paras yang amat cantik, bernama Laksmi Arumdani. Ia sosok wanita sederhana dan sangat pendiam. Perkataan dan perbuatannya sangat sulit di tebak, mungkin itulah mengapa banyak keturunan Adam mengejar-ngejarnya. Ibuku sudah tiga kali menikah, alasannya cukup sederhana mengapa ia memilih hidup bergonta ganti pasangan, “lebih baik ibu lepaskan, daripada ibu harus menyakiti.” Yah, begitulah ibu.
Pagi ini ibu kembali berangkat berkerja dengan tas lusuh yang berisi peralatan salon kelilingnya.
“Lanang, apa hari ini kamu tidak sekolah?” Tanya ibu mendapatiku masih berpakaian biasa pagi ini.
“Hari ini dan besok, ada rapat guru, Bu.” Jawabku singkat.
“Oh begitu. Ibu berangkat dulu ya lanang, doakan ibu mendapat banyak pelanggan hari ini, agar nanti malam, ibu bisa mentraktirmu pecel bebek di tempat Mang Adang.” Aku mengangguk.
Ibu sangat memanjakanku. Ibu bilang, aku tidak boleh tumbuh menjadi anak lelaki yang liar. Ibu sangat ingin aku menjadi lelaki yang sukses dan tentu saja berprilaku baik. Pernah aku merasa bosan menghadapi semua, di usia remajaku, aku tak berani menentang perintah ibu untuk langsung pulang setelah sekolah. Aku langsung teringat ibu, kebaikan dan kerja keras ibu selalu terbayang saat ada niat untuk melanggar perintahnya. Biarlah aku seperti ini, ibu bahagia, itu sudah lebih dari cukup.
“Ali,”
“Astaghfirullah,” aku terbelalak kaget saat mendapati seseorang di dapur rumahku.
“Siapa kamu?! Jangan macam-macam di rumahku!” bentakku. Seorang lelaki, putih bersih dan sangat wangi tiba-tiba ada di dapur rumahku pagi itu.
“Jangan takut, aku adalah teman ibumu. Ia menyuruhku menungguimu selama ia bekerja.” Jawabnya lembut. Ibu? Tidak pernah ibu bercerita sebelumnya kepadaku. “perkenalkan, namaku L-O-I-S-E,” ia mengeja namanya. “dibaca, Luis”
Aku mengangguk. Hidungnya mancung, matanya sedikit coklat. Wajahnya lelaki, namun aku menangkap aura kelembutan pada dirinya. Bicaranyapun sangat lembut. Apa mungkin dia banci teman salon ibu? “Yah, mungkin saja.”
“siapa nama lengkapmu, Nak?” Tanya Loise yang setelah memperkenalkan diri, kembali duduk membelakangiku.
“Ali, hm, Satrio Ali.” Jawabku
“Sekolah?” tanyanya lagi.
“Dua SMK, jurusan mesin.”
“Pernah mendapatkan juara?”
“Dari SD aku selalu mendapatkan beasiswa.”
“Kau sangat pintar, aku yakin, ayahmupun pintar.”
Ayah? Apa ibu tidak pernah bercerita kalau aku tidak memliki ayah? “Tidak, ayahku sungguh manusia yang ama bodoh dan berfikiran sempit.”
“Mengapa?”
“Karena ia lebih memilih kepentingan dirinya dibandingkan tanggung jawabnya. Sudahlah, lebih baik, kita berbicara yang lain. Aku tidak ingin membicarakan hal cengeng seperti ini.”
Dari perkataanku yang terakhir, ia diam, tidak lagi bertanya ataupun berkata hingga ia menghilang sebelum ibu pulang. Ibu tidak bertanya apapun tentang orang kirimannya tersebut. Akupun malas membahasnya. Pasti hanya membuang waktu saja.
“Lanang, apa kau sudah tau nama calon ayah barumu?” Tanya ibu di sela diamnya. Aku menggeleng tanpa mengalihkan mataku dari buku yang sejak satu jam yang lalu ku baca.
“Dia sangat baik.” Sambung ibu. Ibu, mana mungkin dia memperkenalkan nama calon suaminya kepadaku.
“Ibu, ayahku, ayah kandungku, seperti apa dia?” tanyaku. Ibu terdiam, dan tersenyum. Memang ini pertanyaan yang selalu ku tanyakan setiap kali ibu memutuskan untuk kembali menikah,
“Ia seseorang yang amat sangat baik” jawab ibu pelan dan tenang. Mengapa ibu selalu memvonis semua orang baik, termasuk ayahku yang nyata-nyatanya meninggalkan ia dan aku yang saat itu masih ibu kandung. “Ibu sangat mencintainya,” sambung ibu. Kali ini aku dapat melihat suatu yang sebelumnya tak pernah ku lihat dari ibu, sebuah pancaran ketulusan.
“Apa ayah masih hidup, Bu?” aku kembali bertanya. Pertanyaan ini tak pernah ku tanyakan sebelumnya. Ibu terlihat kaget dengan pertanyaanku,
“Iya lanang, ia masih hidup. Saat ini ia sedang sangat merindukanmu.” Ibu menjawab sambil mengelus perlahan rambutku.
***
“Kamu lagi?” aku sedikit kaget mendapati Loise yang sedang asik membersihkan meja makan yang di atasnya sudah tersaji sepiring masi goreng dan segelas susu coklat. Menu pagi kesukaanku yang biasanya ibu yang menyiapkan.
“Maaf, sudah membuatmu kaget. Makanlah, aku sudah memasakanmu ini. Ini makanan kesukaanku, semoga kamu juga suka.” Ucap Loise. Aku duduk dan memakan semua tanpa memperdulikan Loise. Makanan kesukaannya sama persis seperti makanan kesukaanku yang setiap pagi ibu hidangkan sebelum aku berangkat sekolah. Selama aku melahap semua makanan, mata Loise tak lepas dari aktivitasku, membuatku sedikit risih, namun itu semua tak ku perdulikan. Nasi goreng yang sedang ku lahap ini sangat enak.
“Mengapa kau tidak sekolah?” tanyanya saat suapan terakhir telahku lahap bersih.
“Ada rapat guru, jadi diliburkan.” Jawabku singkat. “Siapa kamu sebenarnya?” tanyaku penasaran, sambil terus melahap sesendok penuh nasi goreng yang ia sajikan. Loise tidak langsung menjawab, ia terdiam.
“Menurutmu?” Loise balik bertanya. Aku mengangkat kedua bahuku, ”kalau aku bertanya, berarti aku tidak tau”
“Aku Loise, aku orang baik dimata ibumu,” jawabnya. Aku melirik ke arahnya, ia tersenyum lembut.
“Ibu selalu mengatakan seseorang baik. Banyak sekali orang baik di sekeliling ibu.”
“Kalau begitu, aku adalah orang yang kau anggap bodoh, dan berfikiran sempit.” Loise berkata, sambil berjalan meninggalkanku.
“Tidak, ayahku sungguh manusia yang ama bodoh dan berfikiran sempit.” Aku tiba-tiba teringat kata-kataku kemarin kepadanya. Berarti, “Hei, tunggu!!!!” panggilku. Aku mengejarnya keluar. Apa benar, ia ayahku? Yah, benarkah? Aku terlambat, ia sudah tidak terlihat lagi. Ayah?
“Lanang, sedang apa kau?” Tanya seseorang dari arah belakang. “Kau menangis?” Tanyanya.
“Ibu, baru saja ayah datang.” Ucapku bergetar. Ibu memelukku erat. Tak kuasa ku menahan tangis, aku sangat merindukan ayah. Aku sangat berharap bisa bertemunya lagi. Walaupun aku sangat membencinya.
“Lanang, kau sudah saatnya tahu yang sesungguhnya.” Ibu berkata pelan dan menggiringku masuk rumah.

“Namanya Loise Serfentoo. Ia lelaki keturunan Belanda yang memiliki warna rambut dan bola mata seperti orang Indonesia. Ia teman ibu dulu. Kita sama-sama membuka usaha salon. Ia sangat baik,” Ibu menghentikan ceritanya sejenak, menarik nafas, lalu meneruskannnya kembali, “Suatu hari, ia menyatakan cintanya pada ibu. Namun itu semua karena ia mencintai Doni, pria yang ibu sayangi.”
Aku terdiam. Berusaha menyaring cerita ibu, “Yah, Loise sadar memiliki kelainan. Ia suka sesamanya. Loise tidak bisa menerima kenyataan itu. Ia marah pada dirinya, ia sangat ingin menentang semua itu, lalu, ia meniduri ibu. Berharap ia dapat membuktikan bahwa ia adalah lelaki normal. Saat itu, ibu sangat kecewa, bersedih karena Doni mengetahui hal itu, dan seketika memutuskan cinta kami. “
“Ibu hamil, Loise bingung. Begitu juga Ibu. ‘Laksmi, aku ingin memperbaiki hidupku dulu. Kelak aku akan kembali untuk mempertanggung jawabkan bayi kita. Aku berjanji. Aku mencintaimu, karena kau mengandung anakku, anak hasil pembuktianku, bahwa aku adalah lelaki normal. Maafkan aku.’ Setelah itu ayahmu pergi meninggalkan ibu dan kau,”
Aku bergetar mendengarnya. Aku perlahan mulai mengerti cerita ibu. Aku mengerti, kenapa ibu menyembunyikan ini semua dariku. Aku ternyata lahir karena emosional ayah terhadap dirinya sendiri.
“Ibu selalu menikah dan memutuskan untuk mengakhirinya, karena ibu masih sangat mengharapkan tanggung jawab dari ayahmu. Ibu mencintai semua suami ibu, namun ibu sesungguhnya merindukan ayahmu. Selama ini, ia selalu mengirimkan ibu uang untuk membiayai hidupmu, menyekolahkanmu. Ia sangat sayang padamu, lanang. Nama Satrio Ali pun ia yang memberikannya, karena ia berharap kau menjadi kesatria bagi ibu, yang bisa melindungi ibu...”
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi, aku bingung bagaimana aku harus menentukan sikapku.
“Lalu, siapa lelaki yang akan menjadi ayah baruku?” tanyaku.
“Dia Loise Serfentoo,” jawaban ibu membuat air mataku tak kuasa ku bendung. Tak bisa ku luapkan perasaanku kini, aku sangat bahagia karena sebentar lagi, aku akan berkumpul lagi bersama ayah. Aku yakin, ayah sudah bisa memperbaiki hidupnya, karena ia sudah kembali. Ayah, aku merindukanmu….

0 komentar:

Posting Komentar

Ayo Berbisnis