Minggu, 11 Oktober 2009

Siapa Dia

oleh: Thera Febrika NF
Namanya Dia, Diazanka Pufitrasriu, sebuah nama kepanjangan yang susah diingat. Dia adalah murid baru, katanya dia pindah dari pulau Sumatera. Dari pertama kali masuk Dia tidak pernah berbicara, kecuali bila guru bertanya padanya. Teman-teman yang bertanya sesuatu padanyapun tak Dia jawab. Itu membuatnya tidak disukai. Tak ada yang tau penyebabnya mengapa sikap Dia sangat dingin seperti itu. Dan dasar nasib apes sedang berpihak padaku, Bu Tatin wali kelasku menyuruh Dia duduk sebangku denganku. Karena kebetulan Galih teman satu bangkuku baru saja pindah sekolah.
“Hai, aku Diaza Putria, cukup panggil aku Diaz. Nama kita hampir mirip ya?” Sapaku. Dia tetap diam. Aku sudah siap menelan pil pahit saat menegur manusia ciptaan Tuhan yang sangat pendiam satu ini.
“Eh, Dia, denger-denger di Sumatera lebih panas dibandingin di Jakarta ya?” tanyaku lagi. Dia masih terus diam, matanyapun tak sedikitpun menatapku.
“Dia, kok kayaknya aku pernah ngeliat kamu ya? Kamu pernah masuk tv ya?”tanyaku yang kesekian kali. Sudah ku putuskan, kalau pertanyaanku satu ini tidak ia jawab, aku akan menjerit dan bilang “Kamu tuli ya?!”
“Memang benar kita pernah ketemu” Jawabnya datar. Aku terdiam. Bertemu?
“Maksud kamu?”
Dia tidak menjawab lagi. Hufh.. mulai lagi nih anak diem. Low bat kali ya. Gerutuku dalam hati. Begitu seterusnya Dia hanya diam, tak menjawab kalau tidak benar-benar membuatnya ingin menjawab. Walaupun di kalangan teman-teman, ia termasuk anak yang sombong, tapi Dia sangat disukai guru. Karena kecerdasannya. Tak pernah ia tak bisa menjawab semua pertanyaan dari guru. Kalau dimintai pendapatpun, ia selalu memberi pendapat yang simple namun jelas dan tepat.
Ada satu hal lagi yang aneh sejak kehadirannya. Tiga malam ini, aku selalu bermimpi tentang Dia. Dia datang ke mimpiku dengan wajah yang sama, datar. Namun di mimpiku, ia berkata perkataan yang selalu sama setiap malam, “Maaf, seharusnya aku melindungimu” Setelah Dia berkata seperti itu, Dia lalu berlalu pergi. Awalnya aku menganggap itu hanya mimpi biasa, tapi lama kelamaan aku mulai penasaran, apa maksud dari mimpi itu.
Pagi itu, aku melihat Dia datang masih dengan wajahnya yang datar. Aku melihatnya dari jauh. Aku tidak tahu perasaan apa ini, mengapa aku merasa begitu dekat dengannya. Dengan seseorang yang baru pertama kali aku temui.
“Diaz,” panggil seseorang. Aku terbelalak kaget saat yang menyapaku pagi itu adalah Dia. “Tolong pagi ini kamu jangan ikut upacara” Dia berkata sedikit ragu-ragu
“Jangan? Mengapa?” tanyaku bingung. Dia tidak menjawab, ia berlalu begitu saja. Dasar sinting! Batinku. Aku tak menghiraukan kata-kata Dia. Pagi ini aku akan tetap ikut upacara. Karena pagi ini yang menjadi pemipin upacara adalah kakak kelas pujaanku. Bisa terlewat dapat pemandangan indah kalau aku lewatkan. Lagian, atas dasar apa ia melarangku?
Upacara dimulai, hari ini cuaca sangat terik. Upacarapun seperti berlangsung sangat lama. Keringat sudah sangat banyak memandikan tubuhku. Mataku berkunang-kunang, pusing. Mengapa tiba-tiba gelap? Dan …
Kepalaku sangat berat, sangat sakit. Mataku sangat sulit untuk di buka. Aku berusaha, dan akhirnya aku bisa membuka mata. Remang-remang aku mendapati seseorang di sampingku, sedang duduk sambil menunduk, siapa?
“Dia” Ucapku pelan. Setengah tak percaya kalau orang yang menungguiku adalah Dia.
“Sudah ku bilang, jangan ikut upacara” Dia berkata sambil memalingkan wajahnya
“Tau darimanakalau aku akan pingsan?”
“Aku tidak berkata kau akan pingsan,” jawab Dia santai.
***
“Ampun, Pa. Ampun,”
“Sudah saya bilang, jangan bicara aneh-aneh kamu!” bentak pria itu sambil terus menyabetkan seutas ikat pinggang ke badan anak kecil yang sedang tengkurap diatas kasur.
“Ampun Pa, ampun” lirih anak itu lagi
“Jangan panggil aku Papa! Dasar anak sialan!” bentak lelaki itu tanpa belas kasihan. Anak kecil itu merintih kesakitan.
“Papa, berhenti. Jangan pukulin kak Dia lagi Pa,” tiba-tiba seorang anak perempuan berkepang dua memeluk lelaki itu. Lelaki itu melemah, dan menghentikan sabetannya.
“Dia sudah menghancurkan hidup Papa, Nak. Hidup kita. Kebahagiaan kita terampas karena anak sial ini.” Jelas lelaki itu. Anak lelaki itu berusaha beranjak dari tempat penyiksaannya itu. Ia berjalan terseok menjauhi lelaki dan anak perempuan yang amat ia sayanginya itu. Anak lelaki itu duduk disamping seorang ibu yang juga badannya penuh luka.
Aku terbangun. Mimpi bermimpi. Mimpi yang aneh, begitu jelas terekam. Siapa mereka sebenarnya. Aku melihat jam yang menempel di dinding kamarku, masih menunjukan angka dua malam. Aku beranjak bangun dan keluar untuk mengambi segelas air putih.
“Di.. Diaz” panggil seseorang saat aku baru saja satu tegukan air. Aku menoleh.
“Papa, belum tidur?” jelasku. Aku hanya tinggal berdua dengan Papa. Papaku saat ini cacat karena kecelaan yang menimpanya, aku dan mama saat usiaku tujuh tahun. Papa selamat dengan keadaan yang sangat kritis. Ia kehilangan kedua kakinya, serta kemampuannya untuk berbicarapun tak selancar dulu lagi. Sepeninggalan mama, aku hidup betiga dengan tante Ratih, adik Papa. Namun karena tante Ratih sudah menikah dan saat itu akupun sudah dewasa, tante Ratih pergi ikut suaminya pergi ke Bali dan mempercayakan aku. Tinggallah aku berdua dengan Papa. Aku mengurus segala sesuatu keperluan papa. Untuk menghidupi aku dan Papa, aku bekerja sepulang sekolah. Semua itu aku jalani dengan hati yang ikhlas, sehingga aku bisa bahagia menghadapinya.
“Sudah malam, Pa. Sekarang Papa tidur dulu. Supaya besok segar lagi.” Aku mendorong kursi roda papa dan memopoh papa kke tempat tidur. Aku menyelimutinya.
“Diaz sayang Papa” Ucapku seraya mencium kening Papaku sebelum meninggalkannya keluar kamar,
“Di..Diaz ma..aaf…” Papa berkata pelan. Papa selalu berkata seperti itu setelah aku melakukan sesuatu untuknya.
“Papa tidak pernah buat salah. Jadi tidak perlu minta maaf begitu.” Jawabku lembut. Lampu kamar papa ku matikan, dan akupun kembali tidur.
***
“Pagi Dia,” sapaku pada Dia yang selalu datang lebih awal daripada aku. Seperti biasa Dia tidak menjawab sapaanku. Aku mulai bisa menerima sifat anehnya itu.
“Ini,” aku menyodorkan sebuah buku catatanku padanya. “Ini buku catatanku. Nanti sepulang sekolah aku tidak bisa kumpul kelompok untuk mengerjakan tugas, jadi aku sudah rangkum semalam.”
“Dasar anak kecil, pasti kamu akan pergi main.” Ujar Dia ketus. Aku tersenyum, ”aku bukan mau main, tapi setiap hari sepulang sekolah aku bekerja. Teman-teman yang lain sudah banyak yang tau kalau aku selalu bekerja sepulang sekolah. Dan sekarang, aku yang memberi tahumu.” Jelasku Aku melihat reaksinya, alisnya menyatu tapi tatapannya tetap ditujukannya ke depan. Seperti seseorang yang tidak mengerti.
“Papa aku sedang sakit, jadi aku yang harus berusaha sendiri untuk meneruskan sekolah.” Aku kembali menjelaskan. Tapi tiba-tiba, Dia meneteskan air mata tanpa sedikitpun menatapku. Tatapannya terus kosong menatap kedepan.
“Maaf, seharusnya aku melindungimu.” Ucapnya bergetar. Ucapannya kali ini sama persis seperti apa yang ia sampaikan dalam mimpiku. Belum sempat aku bertanya, Dia sudah beranjak pergi. Aku tidak mungkin menanyakan mimpi itu padanya. Karena aku yakin ia tidak akan percaya. Satu lagi yang ingin aku tanyakan, mengapa ia tiba-tiba menangis saat mendengar penjelasanku tadi?
“Apa mungkin semua ini ada artinya? Mimpi-mimpi itu seperti bukan sebuah mimpi.” Aku sangat ingin tahu, apa maksud semua ini. Apa aku harus mencari tau semuanya? Tapi bagaimana caranya? Apa aku harus memberanikan diri bertanya pada Dia? Yah, sepertinya itu jalan satu-satunya. Aku keluar kelas mencari Dia. Kemana anak itu? Aku berjalan mencainya keliling sekolah. Pelajaran sebentar lagi akan dimulai, tapi ia tidak ku temukan. Akhirnya ku putuskan tidak meneruskan mencarinya karena pasti akan memakan waktu lama. Ternyata benar, Dia tidak masuk hari ini. Tasnya ia tinggal di atas mejanya. Aku akan mencari tau ini semua sendiri.
***
“Assalamualaikum, Pa. Diaz pulang.” Aku menggantungkan tas sekolahku, lalu berjalan masuk kamar papaku. Biasanya sore-sore begini papa selalu duduk di depan jendela kamarnya.
“Papa,” panggilku berulang kali saat tidak ku dapatkan papa di depan jendela kamarnya.
Papa ke taman. Berjalan – jalan sore
Sebuah kertas bertuliskan tulisan tangan papa ku temukan diatas meja. Papa ternyata ke taman. Kegiatannya kalau sudah benar-benar suntuk. Aku melihat kasur papa, sangat bernatakan tempat tidur itu. Akhirnya ku putuskan untuk membersihkannya dulu.
“Apa ini?” Aku menemukan sebuah foto yang sudah usang di bawah bantal Papa. Ada empat orang. Seorang lelaki dan seorang wanita menggendong dua orang bayi. Yang lelaki sangat mirip dengan papa, sedangkan yang wanita juga mirip dengan foto mama. Lalu,berarti bayi yang di gendong mama dan papa itu aku, aku dan… siapa bayi yang satu lagi?
***
“Melamun pagi-pagi itu tidak ada gunanya.” Suara itu kembali menyapaku. Aku masih memikirkan apa yang telah ku temukan kemarin, foto papa dan mama yang menggendong dua orang bayi. Aku juga memikirkan mimpiku tadi malam yang tak kunjung berubah, Dia dengan kalimat, “maaf, seharusnya aku melindungimu,” dan di selingi dengan seorang anak yang di pukuli seorang lelaki.
“Maafkan aku, seharusnya aku melindungimu.” Dia berkata pelan.
“Siapa kamu sebenarnya? Perkataan itu, mimpi itu, apa maksudnya?”
“Dulu, aku memiliki sebuah keluarga,” Dia memulai ceritanya. “Namun semua hancur karena kemampuanku. Namaku Diazanka, dan aku memiliki adik kembar yang lahir selisih satu jam denganku, bernama Diaza.”
“Apa?! Aku tak mengerti maksudmu, Di?” aku bertambah bingung. Apa-apaan semua ini?
“Aku dilahirkan berbeda seperti manusia biasa. Namun aku memiliki kemampuan bisa melihat kejadian yang akan datang. Aku juga bisa mendatangi alam mimpi dan bayang seseorang. Tapi, semua ini justru menghancurkan keluargaku. Papa sangat membenciku, karena aku dianggap pembawa sial. Sehari sebelum Papa bangkrut, aku sudah memberitahunya, namun Papa tidak percaya. Saat hari itu tiba, dan ternyata perkataanku benar, Papa marah besar. Dia memakiku, memukulku, menyiksaku, bahkan aku tidak dianggapnya anak karena dianggap kalau perkataankulah penyebab semua ini. Aku si pembawa sial. Aku dihukum tidak boleh berbicara apapun kepada Papa atau Mamaku, bahkan dengan adikku, kalau aku langgar, papa akan kembali memukuliku” Dia menarik nafas sejenak, menghembuskannya, lalu meneruskan ceritanya, “adikku yang selalu melindungiku dari Papa, setiap Papa marah, hanya dialah yang dapat membuat Papa tenang dan tidak memarahiku. Hingga akhirnya, Mama, Papa, dan kau, Diaz, berencana pergi keluar kota untuk mengunjungi rekan Papa, namun aku melihat bahwa akan terjadi suatu hal yang sangat buruk yang akan menimpan perjalanan kalian. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku sangat menyesal, seharusnya saat itu aku berani berbicara! Aku sangat menyesal! Kalian pergi, sedangkan aku tidak diizinkan ikut. Aku membisikan sesuatu ketelingamu sebelum pergi, ‘melompatlah saat mobil papa mulai goyah’ dan kamu mengangguk. Ternyata benar, mobil Papa terbalik, Mama meninggal, Papa terluka parah, sedangkan kamu, kepalamu terbentur dan membuatmu kehilang ingatan. Saat memulihkan ingatanmu, Papa tak pernah memperkenalkanku padamu, karena aku selama ini hanya dititipkan pada adik bungsu Mama, di Lampung. Aku tidak dianggap anak lagi. Hingga saat ini, aku kesini, hanya ingin mengucapkan, maafkan aku adikku.” Dia mengakhiri ceitanya. Aku terpaku, antara percaya dan tidak. Namun aku memang pernah kehilangan ingatan saat usiaku delapan tuhun.
***
“Papa,” Aku menghampiri papa yang sedang melamun di depan jendela kamarnya. Aku membalikan kursi rodanya kearah pintu yang tadinya ia belakangi.
“Si... Siapa di..dia?” Tanya papa
“Di…Diazanka Pufit..rasriu,”papa berbisik tertahan, air matanya tergenang,
“Papa!” Dia berlari memeluk papa. Berlutut, meletakkan kepalanya diatas kedua kaki papa yang terduduk diatas kursi roda. Papa memeluk Dia, seperti tak ingin dilepaskan.
“Maaf… Ma..afkan, Ppa..Pppa, Nak.”
“Tidak Pa, Dia yang bersalah. Dia yang telah membuat Papa seperti ini, Dia tetap anak sial, Pa.. Maafkan Dia…”
“Ssseharusnya Ppapa per..caya kam..u”
Akhirnya semua kebohongan ini terungkap. Semua pertanyaanku terjawab. Dia sengaja masuk kealam mimpiku untuk memberi tahu semua ini. Dan semua ucapan maaf papa itu karena hal ini, karena papa memisahkan aku dengan Dia.
_SELESAI_

0 komentar:

Posting Komentar

Ayo Berbisnis