Minggu, 08 Mei 2011

Sebuah Penantian

(Peringkat ke III cerpen Mini yang diadakan oleh Kak Hylla/WR04)
Ketika sebuah perasaan terlahir di dalam diri sebuah insan, akan terlahir pula banyak perasaan yang serupa namun sungguh tidak sama. Begitu yang ku rasakan. Enam tahun yang lalu aku menerima sebuah pernyataan cinta seorang lelaki yang kini menjadi pemilik tahta baris ke tiga di hatiku. Tentu saja, kedudukannya setelah Sang Pencipta, kedua orang tuaku dan keluargaku. Saat itu, aku berkenalan dengannya, ia dua tahun di atasku. Ia begitu baik dan terlihat amat penyayang. Membuatku tidak ragu menerimanya. Ia bernama Kian. Kisahku dengan Kian sudah tercipta sejak tahun pertamaku bersekolah berseragamkan putih abu-abu. Ia menyatakan cintanya padaku. Ia adalah lelaki pertama yang menyatakan cintanya padaku. Selama menjalin hubungan, Kian adalah lelaki yang nyaris sempurna. Perhatiannya, keistimewaan yang tiada tara tak segan ia berikan kepadaku.
“Saya suka tempe ini, dan juga suka kamu” Itulah kata-kata yang sempat membuat aliran darahku lebih cepat terpompa. Pernyataan cinta yang unik, namun begitu istimewa terucap di pojok kantin sekolah. Banyak kisah yang tercipta selama aku dekat dengannya. Namun di tahun pertama hubunganku dan Kian, Kian pindah bersama keluarganya ke luar kota. Sebuah kota yang terpisahkan pulau dari tempat tinggalku. Seketika hatiku ragu, mampukah aku mempertahankan perasaan ini.
***
“Bagaimana mungkin kamu lupa dengan hari jadi kita? Ini sudah tahun ke enam!” ucapku kecewa. Telpon genggam ku eratkan ke telingaku. Tanganku gemetar menanti jawabannya. Ia tidak terlalu menanggapi ucapanku.
“Jawab, Kian!”
“Sudahlah, pengganggu!” Kian mematikan saluran telponku. Aku kembali menghubunginya, tapi saluran itu selalu sibuk.
Ini adalah Kian yang sekarang. Aku tidak terlalu mengerti sesibuk apa ia. Aku merasakan hal yang aneh. Saat aku sudah benar-benar mencintainya, ia seakan menjauh. Ada sebuah komitmen yang ia katakan sebelum ia pergi. Kini ia telah sibuk dan melupakan semua komitmen yang ia ucapkan sendiri. Sebuah komitmen untuk tetap menjaga hubungan ini walaupun terpisah jarak yang jauh.
“Sudahlah, cari saja laki-laki lain. Kamu masih muda. Calon arsitek lagi,” itulah kalimat yang selalu di ucapkan oleh mama Rika, sahabatku. Memang sangat mudah berbicara seperti itu. Tapi semuanya sudah terlambat, perasaan ini sudah amat mendalam. Perasaan ini sudah terlanjur ku serahkan seutuhnya pada Kian yang kini tidak seperti dulu.
“Hari jadi kalian saja tak ia ingat. Apalagi komitmen kalian.” Sambung Rika. Aku membenarkan semua perkataannya. Sudah berulang kali aku membuka hati untuk lelaki lain, namun sungguh aku tidak bisa aku begitu saja menyerahkan hati dan perasaan ini untuk lelaki lain.
Aku menekan keypad telpon genggamku.
“Kian, jawab pertanyaanku. Apa kau masih ingat dengan perkataanmu dulu?” sebuah sms terkirim. Hanya kecanggihan teknologi ini yang menjadi temanku. Teknologi ini yang membuatku tetap mencintai Kian. Lama aku menunggu balasan itu, tak kunjung tiba. Namun saat aku sudah hampir melupakannya, dua getaran yang menunjukan sebuah pesan masuk terdengar. Aku membukanya dengan hati yang berdebar.
“Yang mana? Nanti ya sayang, lagi sibuk. Nanti malem saya telf ya. Miss You.”
Bukan jawaban yang ku harapkan. Namun aku berharap saat malam datang aku bisa mengungkapkan kegundahanku padanya. Aku terus menunggu handphoneku berdering. Tidak kunjung terdengar. Hingga malam semakin larut. Aku memutuskan untuk menelponnya. Namun hanya nada sambung yang terdengar, lama dan kemudian di akhiri dengan suara operator yang mengatakan saluran sedang sibuk.
“Apa kau lupa?” aku memilih untuk meng-smsnya kembali. Tidak ada jawaban. Ini bukan kali pertama ia melupakan janji yang ia buat.
Aku menyesali ini. Aku sungguh menyesali perasaan ini. Tangis yang panjang ini tidak akan ia anggap. Salahkah aku benar-benar mencintainya, Tuhan? Selama ini aku bersabar menunggunya menjemputku dengan kebahagiaan di akhir cerita. Namun saat ini, komitmen yang ia buat, hancur. Tidak ada lagi sebait kata cinta yang terurai. Semakin lama, justru aku semakin merasa tidak mengenalnya. Malam ini aku hanya bisa menatap bulan sabit yang melengkung, seolah menyuruhku untuk kembali tersenyum. Aku merindukannya. Sudah satu tahun aku tidak bertemu dengan Kian. Tahun kemarin ia datang menemuiku, itupun hanya beberapa hari dengan alasan ia sedang sibuk.
Saat jarum jam menunjukkan angka tepat jam 12, aku kembali berusaha menghubunginya. Kali ini telponku di jawab. Sebuah suara berat terdengar dari seberang.
“Halo,” bukaku.
“Hm,” jawabnya. Suara seorang yang baru saja bangun tidur.
“Kian...” panggilku. Tidak ada jawaban, “Kian, apa kau mendengarku?” tanyaku pelan.
“Sudah, cepat ngomong! Buang-buang waktu saja. Bisanya mengganggu. Sial!” Dadaku sesak mendengar ucapannya. Ini adalah kali pertama ia berucap seperti itu. Begitu menganggukah aku?
“Bagaimana perasaanmu saat ini?” tanyaku pelan di sela tangisku yang tidak bisa lagi ku tahan.
“Masih sama seperti yang dulu,” jawabnya.
“Seperti apa?” tanyaku
“Apa perlu aku berulang kali katakan? Penting tengah malam mengganggu hanya ingin bertanya seperti ini?” tanyanya ketus. Air mataku kembali menetes. Air mata ini tidak bisa ku tahan. Ini adalah keadaan yang buatku bingung.
“Ya, ini penting.”
“Saya masih sayang kamu. Puas?” jawaban ketus itu terdengar.
Aku tidak menjawab. Aku mematikan telponku. Aku tidak bisa terus berbicara pada Kian yang semakin berubah. Kali ini aku bertengkar dengan perasaanku sendiri. Jiwa ini ingin mengakhiri hubungan yang semakin tidak terarah, namun dalam hatiku, aku masih mencintai Kian dan berharap Kian bisa kembali menjadi lelaki yang lembut seperti dulu. Bagaimanapun aku harus mengambil keputusan. Yang berhak memenangkan perasaan ini adalah diriku.
“Aku kehilanganmu Kian, nanti ketika kamu tersadar, kamu akan mengerti betapa aku mengharapkanmu. Kali ini, aku tidak bisa berhubungan denganmu. Kamu bukan kekasihku yang dulu. Semoga kamu bahagia tanpaku. Hubungan ini kita akhiri saja.”
Aku mengirimkan sms itu. Ini adalah keputusanku. Bukan keputusan terakhir. Aku hanya ingin menyadarkan Kian dari sebuah jati diri yang membuatku ragu akan cintanya. Sampai kapanpun, aku akan menantinya. Hingga kelopak mata ini tidak lagi mampu menampung air mata. Aku akan menantinya. Karena perasaan cinta ini sudah terpatri pada sebuah perasaan yang tulus untuknya.


0 komentar:

Posting Komentar

Ayo Berbisnis