Jumat, 15 April 2011

Elang

(Nominator LCR bulan maret)
Tidak banyak yang tahu siapa Elang sebenarnya. Elang adalah seorang teman satu sekolahku. Saat duduk di kelas satu dulu, ia pernah memenangkan berbagai lomba dan olimpiade. Tapi siapa sangka di balik kecemerlangannya itu, ia sudah berpuluh kali keluar masuk buku hitam, bahkan nyaris di keluarkan.
Aku kembali memperhatikannya, pagi ini ia kembali keluar dari ruang guru. Wajahnya sangat tidak memperlihatkan penyesalan sama sekali. Tentu saja, karena ini bukan kali pertama ia bermasalah dengan guru. Menurut gosip yang beredar, ia selalu bisa melontarkan alasan yang cerdas, sehingga guru selalu menyelamatkannya. Elang adalah sosok fenomenal menurutku dan menurut beberapa teman. Ia kerap menggumpalkan tangan dan mendaratkannya berkali-kali dengan kuat ke pipi lawannya. Namun, ia akan dengan santai mengerjakan soal fisika yang disajikan guru. Saat anak lain berkutat dengan kamus English-Indonesianya, Elang sudah berbicara dengan lancar di depan kelas.
“Kamu mengidolakan saya?” lamunanku buyar, ketika sebuah suara menegurku yang sedang asik membicarakan dirinya. Elang sudah duduk tepat di sampingku.
“Banyak manusia geer ya di dunia ini,” jawabku berusaha menutupi kebenaran ucapannya. Elang tersenyum. Sinis. “Sukma Indah,” mataku terbelalak. Dari mana ia mengenal namaku? Dari dulu kami tidak pernah satu kelas. Akupun bukan anak yang terkenal. “nice to meet you,” tutup Elang sambil meninggalkanku pergi. Aku berusaha menyadarkan apa yang baru saja ku alami. Aku baru saja berbicara dengan Elang! Tidak pernah ku melihat ia menegur seseorang, kecuali itu sangat penting. Bahkan baru kali ini aku mendengar suaranya. Ajaib!



“Tunggu dulu, mengapa harus Elang? Dan, mengapa harus aku?”
Ini semua karena kemarin ada beberapa anak yang melihatku berbicara dengan Elang. Itulah yang menarik minat ketua redaksi SMART sebuah majalah sekolah. Satu-satunya ekstrakulikukuler yang aku ikuti. Aku dianggap mampu mewawancarai Elang.
“Elang sudah berulang kali masuk buku hitam, bahkan nyaris drop out, mengapa kita memasukannya ke rubrik ‘Siswa Berprestasi’ ini? Apa tidak ada yang lain?” protesku ku tumpahkan saat rapat redaksi tiba.
“Elang adalah sosok misterius selama ini. Ia mempunyai jurus jitu untuk meluluhkan hati guru. Selain itu ia sangat jenius! Siapa yang tidak mengenalnya? Kefasihan bahasa asingnya sudah tidak di ragukan lagi. Dalam hal apapun ia terdepan, termasuk olah raga!” jawab sang ketua redaksi menggebu. Kalau sang ketua sudah berpendapat tidak ada yang bisa menggoyahkan. Ternyata ia juga penasaran dengan Elang. Sama sepertiku.
“Elang akan meningkatkan minat pembaca SMART, itu bisa meningkatkan laba penjualan kita.” Kali ini pendapat bendahara yang selalu berkutat dengan laba dan rugi. Aku sudah mati kutu, tidak ada yang mendukungku. Aku tetap diharuskan mengorek segala sesuatu tentang Elang. Baiklah, mungkin ini salah satu jalan untuk menjawab pertanyaanku. Siapa Elang sebenarnya?
Aku melangkahkan kakiku. Bel tiga kali menandakan bahwa segala aktifitas pembelajaran berhenti. Siswa sudah di perbolehkan pulang. Siang ini aku memutuskan untuk mengikuti langkah Elang. Sebelum mulai mencari informasi melalui wawancara, aku harus bisa mendapatkan informasi lain yang belum tentu akan terjawab dalam wawancara. Elang baik pulang maupun pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Ini akan memudahkanku dalam mengikutinya. Aku merasa mendadak menjadi paparazi kelas teri, bagai seorang kameramen gelap yang mengendap perlahan untuk mengambil gambar ilegal seorang penting. Elang berjalan santai, sementara aku berjalan dengan membawa sebuah buku. Bila ia menengok ke arahku, aku akan berpura-pura berjalan sambil membaca buku. Ini hanya alibi sederhana. Lebih kearah alibi bodoh, namun aku tidak tau lagi harus bagaimana. Ini adalah pengalaman pertamaku.
Elang berhenti pada sebuah warung sederhana. Aku bersiap menuliskan sesuatu. Sepertinya ia akan membeli rokok. Ini akan menjadi berita menghebohkan, sang juara merokok! Namun dugaanku salah, ia hanya membeli segelas air mineral. Aku mulai letih. Matari semakin merangkak naik. Keringat bercucuran, Elang tidak menunjukan tanda-tanda ia akan berhenti. Aku tidak akan menyerah, aku akan terus mengikutinya. Aku harus mengetahui rumahnya. Tidak lama, Elang kembali berhenti. Ia berdiri mematung di trotoar. Dan membalikan badan. Aku menaiki buku yang ku bawa, pura-pura membaca.
“Sukma?” panggilnya. Mati sudah, Elang sudah tau bahwa aku sedang mengikutinya. Aku menurunkan buku yang menutupi wajahku. Dengan senyum terpaksa aku menatapnya. “Mau ikut saya minum es dawet di seberang sana? Kamu terlihat dehidrasi” tawarnya. Tidak tau bagaimana perasaanku, antara lega dan penasaran, sebuah tawaran biasakah? Atau ini merupakan jebakan? Aku mengangguk ragu. Aku mengikuti langkahnya. Tidak ada sepatah katapun yang terucap hingga dua gelas es dawet terhidang di depan mata.
“Saya, Sukma. Saya hanya ingin berbincang sedikit tentang kamu. Hm, saya diberi tugas oleh ketua redaksi SMART.” Aku membuka pembicaraan. Elang tersenyum simpul. Ini kali pertama aku melihat senyumnya. Beruntung sekali aku, senyumnya manis. Bisikku dalam hati.
“Paparazi?” Tidak tau itu pertanyaan ataukah sebuah pernyataan. Aku sontak menggeleng, air dawet yang baru mau ku teguk, berhenti tepat di pintu masuk kerongkonganku. Hampir saja aku tersedak mendengarnya.
“Bukan! Ini inisiatif saya sendiri. Tidak ada dalam prosedur reportase SMART yang seperti ini,” sanggahku cepat. “I’m swear!” aku menegaskan sambil mengangkat dua jari ke atas. Elang menunduk. Hatiku berdebar, aku sangat takut ia marah. Bagaimanapun Elang terkenal dengan keganasannya, ringan tangan dan pemarah.
“Apa yang ingin kamu tau tentang saya?” tanyanya. Pertanyaan kali ini membuatku lega. Aku mendapatkan lampu hijau. Aku menanyakan berbagai pertanyaan. Ternyata ia adalah anak tunggal. Banyak penghargaan yang ia raih sejak dari kecil, dari pendidikan hingga lomba sulap junior tingkat provinsi. Semua itu baru ku tau. Aku mencatat rapih semua jawaban. “Kamu adalah seorang siswa berprestasi, namun kamu juga terkenal dengan ‘masalah-masalah’ yang sering membawamu keluar masuk ruang guru. Ja...”
“Saya rasa sudah cukup. Saya ingin segera pulang.” Belum selesai aku melontarkan pertanyaan terakhir, Elang beranjak dari duduknya dan meninggalkanku pergi. Aku mengikutinya dari belakang,
“Neng, bayar dulu dong, main nyelonong aje!” teriak tukang es dawet. Aku mendengus kesal. Bukan karena harus mentraktir minuman, tapi karena ia belum sempat menanyakan pertanyaan terakhir. Aku mengejarnya.
“Elang! Tunggu dulu. Saya belum selesai.” Panggilku. Ia terus berjalan.
“Saya sudah tau kau akan menanyakan apa. Ikuti saya, dan kamu akan mengerti.” Aku mengikuti Elang berjalan. Tak seberapa lama, ia berhenti tepat di depan sebuah rumah sederhana. Dari disainnya terlihat sedikit kuno. Ia berjalan memasuki rumah itu. Rumah yang begitu asri. Banyak burung yang kicauannya menenangkan. Interior tua yang tersusun begitu apik dilihat. Ada sederet foto anak kecil. Ini pasti Elang. Bathinku.
“Ikuti saya, sebentar lagi kamu akan mendapatkan jawabannya.” Aku menurutinya. Elang masuk ke sebuah kamar. Di depan sebuah jendela bertralis besi, ia mencium tangan seorangg perempuan tua yang duduk tenang di atas kursi rodanya.
“Siti[1], Elang sudah pulang. Siti sudah makan?” tanyanya lembut. Nenek itu mengangguk. Hatiku berdebar. Ada kelembutan dalam sapaannya. Aku tidak melihat Elang yang angkuh dan dingin saat ia menyapa perempuan tua itu. Ia tidak lupa memperkenalkanku, Perempuan tua itu tersenyum ke arahku. Ia begitu tampak rapuh. Elang mengajakku keluar kamar.
“Sudah tau jawabannya?” tanya Elang. Aku menggeleng, “kamu ternyata Lolali ya.” Aku mengerutkan alis, “Loading lama sekali. Lemot” tawa Elang pecah. Aku menunduk malu.
“Kamu pernah mendengar tentang anak Indigo?” tanyanya. Pertanyaannya kali ini tidak langsung ku tanggapi. Aku kembali memutar otak. Sekelibat aku pernah dengar, tapi aku tidak tahu.
“Yang kekurangan pigmen kulit itu ya?” aku mencoba menebak. Tawa Elang kembali pecah.
“Itu albino. Yang saya tanya indigo. Tahu?” tanyanya kembali. Aku menggeleng.
“Itulah saya.” Jawabnya pelan. “saya dari kecil memiliki sesuatu yang anak lain tidak miliki. Indigo adalah anak yang dewasa melebihi usianya.”
Aku mulai mendapatkan pencerahan. “Saya bisa melihat yang orang lain tidak dapat lihat. Saya bisa mengetahui apa yang belum terjadi. Pada usia 5 tahun saya sudah bisa berbicara bahasa Inggris. Dan, pada usia 10 tahun, saya bisa mengerjakan soal matematika anak SMA.” Aku terpana mendengar penjelasan Elang. “Ini rumah nenek saya. Orang tua saya membuang saya. Karena saya dianggap anak aneh, saat saya bisa meramalkan bahwa pabrik tempat ayah saya bekerja akan meledak. Dan itu benar terjadi. Ayah saya selamat, tapi cacat. Saya bisa melihat yang belum terjadi dan mampu membaca fikiran orang hanya dengan menatap matanya. Namun saya terasingkan. Kedua orang tua saya takut membesarkan saya. Selain karena saya memiliki kelebihan ini, saya juga kerap kasar kepada siapapun yang membuat emosi saya naik. Saya di titpkan oleh mereka di sini. Nenek saya adalah orang tua saya. Ia merawat saya tanpa melihat kekurangan saya dengan kasih sayangnya. Setelah dewasa ini saya baru tahu bahwa saya adalah anak indigo. Satu orang yang tidak mampu ku sakiti adalah dia, Siti. Nenek saya. Siti berkata kalau hidup itu ada banyak sisi.” Ceritanya. Aku terpana mendengar ceritanya. Terjawab sudah pertanyaan yang terpotong. Kini saya mengerti. Kasarnya Elang, tajamnya mata Elang, semua itu karena ia merasa berbeda, dan tidak banyak orang yang mengerti. Jangan melihat seseorang dari satu sisi, kalimat itu terbukti dari cerita Elang. “Tolong, ini hanya saya ceritakan kepadamu. Karena saya tidak mengerti bagaimana menjawab pertanyaanmu. Tuliskan informasi tentang saya, tapi tolong jangan di publikasikan tentang ini semua. Saya yakin kamu mengerti.” Saya mengangguk. Hatiku lega. Kini aku tidak lagi penasaran dengan Elang. Aku menuliskan artikel tentang Elang dengan judul, “Elang-Hidup Ada Banyak Sisi”.



[1] Siti adalah sebutan untuk Nenek dalam bahasa Lampung

1 komentar:

Thera mengatakan...

Sedang diikutkan lomba, mohon doanya ya teman2 ...

Posting Komentar

Ayo Berbisnis