Selasa, 02 Juni 2009

Kilal Anugrah

cerpen oleh : Thera febrika Nur Fajri

Dari dalam kamarku, tampak sepetak kumpulan tempat tinggal yang ku belum menyangka, bahwa itu tempat tinggal manusia. Makhluk yang sama-sama terlahir dari rahim seorang wanita, yang juga manusia. Sepertiku. Pagi, saat mataku terbuka. Siang diantara kesibukanku, dan malam ketika lelah menyergapku, jendela kamarku yang berada di lantai dua rumah hasil kerja kerasku sengaja takku beri tirai, karena aku ingin selalu menatap lukisan Tuhan yang terus berubah. Malam, gelap. Siang, benderang.
***
Aku menjalarkan kakiku pada kursi malas kesayanganku. Kursi itu ku hadapkan tepat di depan jendela, sehingga aku bisa menikmati sebuah drama yang Tuhan anugrahkan. Sebuah kesempurnaan. Aku ingin beristirahat, sebelum lelah menderaku. Aneh memang, namun itulah pemikiranku. Mataku tertuju pada sebuah tempat tinggal. Dindingnya terbuat dari papan tipis, atapnya beratapkan anyaman ilalang yang dikeringkan. Hujan pagi ini membuatku ikut menggigil membayangkan, seberapa menderitanya mereka yang berpenghuni di sana. Begitu miskin dan menderita sepertinya. Aku tidak ingin melulu meyalahkan presiden dan dedengkotnya, karena rakyatnya miskin sepertin apa yang sedang aku lihat. Karena tidak sepenuhnya mereka tukang sedot hak orang, atau bahasa kerennya korupsi. Bapakku dulu juga miskin. Lebih miskin dari mereka. Bapak, mamak dan bapaknya bapak dulu tak memiliki tempat tinggal malah. Namun, siapa duga, sekarang kakek sudah menjadi pengusaha besar? Bukankah semua itu kembali ke usaha masing-masing dan kehendak Yang Kuasa? Namun, aku tak juga membela bapak pemimpin dan dedengkot-dedengkotnya, karena mereka gagal menangani kesusahan rakyatnya. Bisa dibakar masa nanti aku, kalau aku tidak membela Pak Presiden dan wakil rakyat. Mungkin mereka sudah usaha, namun tak rata dan tak ada pemikiran jangka panjang untuk itu semua. Itulah mengapa, aku tak ingin terlalu ikut memperdebatkan sebenarnya siapakah yang salah, pemerintah dengan negara, ataukah manusia dan usaha? Karena menurutku itu suatu kebodohan besar. Tanggung. Lalu, mereka kemanakan kehendak Tuhan? Harusnya mereka menambahkan siasat dintara siasat mereka, ”bagaimana cara berdoa yang baik agar Tuhan memberikan jalan terbaik?” Diantara perdebatan opini dalam lamunku, mataku menangkap sebuah sosok keluar dari tempat tinggal yang selalu ku perhatikan jarang ada manusia di dalamnya. Anak kecil. Usang, sepertinya dia sangat bau. Yeak. Ia keluar tergopoh-gopoh memegangi perutnya. Menuju beranda rumahnya, lalu duduk. Dari kejauhan tampak ia sedang tak berbahagia. Aku merenung. Mataku tetep tertuju pada manusia kecil berkepala botak itu. Sesekali ia menyeka pipinya dengan lengan kanannya. Begitu seterusnya
***
”Terimakadsih, dok” ucap kedua pasang suami istri itu dengan wajah berseri.
Aku tersenyum. Menjadi orangtua seperti mereka adalah impianku. Menggendong atau menggandeng seorang makhluk mungil yang ku cinta. Namun itu sudah menjadi sebuah mimpi. Pendamping hidupku meninggalkanku karena aku tak bisa mewujudkan mimpiku, keinginannku, yang juga keinginannya, menjadi orang tua yang melahirkan seorang bayi dari rahimku. Rahimku sudah tak berfungsi lagi. Seberapa banyakpun sperma yang membuahi sel telurku, percuma. Aku mandul.
”Mang, jangan lupa di kunci ya ruangan saya,”
”Baik, dok” Aku tersenyum sambil mengangguk ke arah Mang Ndong, penjaga tempat praktikku. Arlojiku sudah menunjukan angka sembilan malam, malam ini banyak sekali wanita yang akan menjadi seorang wanita yang sempurna. Aneh memang, aku membantu mereka, pasangan yang datang penuh harap dan pulang dengan kebahagiaan, sedangkan aku sendiri tak bisa seperti mereka. Mengandung bayi. Terkadang aku iri. Namun aku tak tahu, pada siapa aku salahkan ini semua. Malam ini begitu dingin, mungkinn karena baru saja selesai hujan. Aku membuka pintu mobil yang ku parkir tepat di depan tempat praktikku. Saat aku hendak masuk ke mobil, aku berhenti. Telingaku mendengar gigilan seseorang. Aku membaikan badan. Aku dapati seorang anak kecil, hanya berbalut kulit di malam sedingin ini. Ia memeluk kedua lututnya yang dilipat. Meringkuk seperti trenggiling. Aku menghampirinya. Ia terlihat kaget, hampir saja ia lari. “Tunggu sebentar,” cegahku. Wajahnya pucat. Giginya beradu, menggigil.
“Ibumu mana?” tanyaku. Ia menggeleng. Apa dia anaknya Mang Ndong? Tapi, setahuku, Mang Ndong tak punya keluarga di sini. Aku berfikir sejenak, apa yang harus saya lakukan untuknya, tak perduli siapa dia.
“Tunggu sebentar.” Aku sedikit berlari menuju mobilku, mengambil baju hangat yang selalu aku sediakan kala dinginn menderaku. Aku menyelimutinya.
“Dok, siapa anak ini?” Mang Ndong terlihat kaget saat menemukanku bersama anak kecil ini..
“Mang, tolong buatkan teh manis hangat,ya” aku tak menjawab pertanyaan Mang Ndong. Percuma saja, akupun tak tahu dia siapa. Aku mengangkat tubuh bekunya, lalu ku tidurkan di dalam mobilku yang berada tepat di samping kami. Aku mengusap perlahan keningnya, “tega sekali ibunya, meninggalkan anak sekecil ini sendiri.” Bathinku. Mang Ndong datang dengan segelas teh hangat di tangannya. Aku langsung meminumkannya ke anak itu.
“Pelan, masih panas.” Ucapku. Anak itu mengangguk. Ia meniupnya dulu sebelum meminumnya. Anak yang pintar. “Ya Tuhan, mengapa aku merasa sangat menyayaginya? Begitu mendadaknya aku merasakan ini. Siapa anak ini? Apakah ia penjawab doa-doaku?” Tanyaku konyol.
***
Namanya Kilal. Saat ku temukan ia sedang pergi mencari ibunya. Kilal anak yang cerdas, tak ada pertanyaanku yang tak dijawab olehnya. Jawaban yang sedikit liar, jawaban yang tak di miliki oleh anak-anak seusianya.
”Kilal ingin mencari ibu. Katanya, Ibu pergi membeli gula. Tapi sampai malam, malam, malam lagi ibu tidak pulang. Padahal, Kilal lapar” celotehnya. Aku mendengarkan celotehannya. Ekspresinya sangat menggelikan, setiap ia berbicara, tangangnya tak bisa diam. Layaknya Pak Susilo yang sedang pidato.
“Nama mbak siapa?”tanyanya padaku. Aku tersenyum, ”panggil saja aku Mama.” Ucapku sambil membelai kepalanya. Ia mengangguk-angguk. Banyak kejadian lucu selama dua hari aku bersamanya, misalnya saat itu Kilal memanggilku dengan sebutan, “ Mbak mama“.
Tidak tahu kenapa, tak pernah terbesit dalam pikiranku untuk mengembalikannya pulang, atau menanyakan dari mana asalnya. Aku terlanjur menyayaginya. Dua hari Kilal menghipnotisku dengan keceriaannya. Aku tahu, anak seusianya sedang mendambakan seorang ibu. Dan akupun tahu, bahwa aku sangat mendambakan seorang anak. Begitu kebetulan yang sangat membahagiakan bagiku.
“Mama, apa Mama tau, berapa umur Kilal?“ tanyanya.
“Hmmm, kira-kira umur Kilal, lima tahun.” Terkaku.
“O” jawabnya singkat, lalu terdiam. Kilal terdiam, lama sekali. Dua bola matanya kosong, menerawang, jauh sekali.
”Ada apa, Kilal?” tanyaku sambil membelai kepala botak yang baru sedikit di tumbuhi rambut. Kilal tidak menjawab, ia terus terdiam. ”Kilal lapar? Mama buatkan makanan ya?” tanyaku. Kilal pun tak menjawab.
”Kilal takut bapak.” Ucapnya lirih. Aku tak berkomentar apa-apa. Aku tak mengerti maksud ucapannya barusan.
”Setiap hari, Kilal dipukul pakai rotan untuk ibu memukul jemuran kasur yang Kilal pipisin. Tapi Kilal tetap sayang Bapak. Kata Ibu, Bapak marah juga karena bapak sayang Kilal.”
” Mengapa hanya Bapak? Kilal tidak kangen dengan ibu Kilal?”
” Ibu sudah dikubur. Kata bapak, Ibu nggak boleh Kilal kangenin lagi, karena dia
nanti bisa nangis kalau Kilal kangen. Padahal, Kilal kangen banget...” semakin lama, ucapannya semakin lirih. Tangisnya pecah saat ku dekap. Dalam dekapanku, Kilal berbisik, ”Kilal, kangen Bapak... Ibu juga.” Aku peluk ia hingga tertidur. Aku dapat merasakan apa yang anak ini rasakan. Rasa kesepian yang dideranya saman saja dengan rasa kesepian yang menderaku.
***
”Mama!!!! Berentiiiiiii...” pekiknya saat aku akan melewati sebuah gang kecil tak jauh dari rumahku. Aku berniat mencarikan alamat Kilal, namun belum sempat aku menekan pedel gas mobilku, Kilal sudah menyuruhku untuk berhenti.
”Kenapa?” Tanyaku bingung.
”Itu!”
Aku mengerutkan alis. Apa maksud anak ini. Apa rumahnya masuk kedalam gang yang tepat di samping rumahku ini?
”Ma, buka pintunya.” Pinta Kilal. Aku menurutinya. Kilal langsung keluar, namun aku bingung, apa yang harusnya aku lakukan.
”Ayo, Ma! Rumah Kilal, masuk situ!” Kilal menunjuk gang tikus itu. Aku turun dari mobil. Menutup pintu. Belum sempat aku mengunci pitu mobilku, tanganku sudah di tarik oleh Kilal. Kilal menarikku, memasuki gang kecil, sumpek dan bau itu. Dinding sebelah kiriku adalah pagar rumahku. Kilal terus menarik tanganku sambil sedikit berlari. Wajahnya terlihat girang sekali. Kakinya berhenti tiba-tiba, nafasnya terengah-engah, seraya berkata, “ini rumah Kilal, Mama!“ pekiknya. Mataku terbelalak tak percaya. Aku berbalik kebelakang. Ternyata Kilal adalah anak itu. Anak yang saat itu menangis. Anak yang saat itu ku bayangkan, betapa bau dia.
Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari dalam. “Kilal....“ aku langsung menyusul Kilal ke dalam rumahnya. Mataku terbelalak manakala melihat Kilal memeluk tubuh kaku dengan mulut berlumuran cairan putih.
”Bapak... Ini Kilal. Bapak kenapa?” Kilal menangsi sambil tak juga mengendurkan rengkuhannya.Aku menghampiri Kilal. Mememriksa denyut nadi bapaknya. Nihil. Kilal sudah tak punya siapa-siapa lagi kini.
”Ya ampun, Pak Rahman!” terdengar suara seseorang dari depan pintu.
“Kilal, Bapakmu kenapa?” tanya orang itu. Kilal menggeleng sambil sesekali menyeka tetesan air matanya.
Bapak itu menjulurkan tangannya ke hidung bapaknya Kilal. ”Innalillahi wa’innailahi roji’un...” Ucapnya seraya.
”Maaf, ibu ini siapa?” tanya orang itu kepadaku.
”Dia Mama Kilal, Pakde” Orang itu mengerutkan alisnya tanda tak mengerti.
”Kilal saya temukan di depan tempat bekerja saya, Pak.” Jawabku. Sepertinya pria itu cukup mengerti maksudku.
”Kasihan anak ini. Bu. Dia tak memiliki siapa-siapa lagi kini. Semalam, Bapaknya pulang dalam keadaan mabuk. Dari Kilal di kandung, hingga ia lahir dan beranjak besar sekalipun ia tak pernah mengakui Kilal sebagai anaknya. Karena Kilal dianggap anak haram ibunya dengan orang lain. Namun semalam, dalam keadaan mabuk, Bapaknya selalu menjerit dan memanggil-manggil nama Kilal.”
Pria itu mengelus kepala Kilal. ”Tolong rawat dia, Bu.” ucap pria itu liri.
Aku dan istriku belum mampu menyandang biaya hidupnya.
”Bapak tenang saja, saya sangat mencintai Kilal. Saya tidak akan menyia-nyiakan dia.
”Terimakasih, Bu. Anak secerdas Kilal memang pantas mendapatkan yang terbaik.”
Aku dan Pria itu membujuk Kilal untuk pergi meninggalkan bapaknya. Kilal bersih keras tidak mau melepaskan bapaknya yang sudah tidak bernyawa lagi itu. Namun akhirnaya Kilal bersedia setelah aku dan pria itu menjelaskan bahwa bapaknya tidak akan
kembali lagi. Kilal mencium kening bapaknya, air matanya tak henti mengalir.
”Kilal sayang bapak.” ucapnya untuk terakhir kali di te;inga kanan bapaknya.
***
”Hati-hati ya sayang. Jangan lupa pakai baju hangat yang Mama kirimkan. O iya, Mama kirimkan juga bubuk wedang jahe kesukaan kamu. Belajar yang rajin, jangan lupa beribadah, jangan kecewakan Mama.” Ucapku kepada Kilal.
”Iya Mamaku,” jawab Kilal dari sebrang.
”Ich liebe dich, Mama” ucap Kilal sebelum mematikan telponnya. Sekarang Kilal yang dulu ku temukan dan yang kini telah menjadi anakku, menuntut ilmu di negeri sebrang. Jerman menjadi pilihannya.
“Kilal pingin menjadi dokter yang hebat seperti mama“ Itu yang mendorong ia pergi ke sana. Di belakang namanya, ku tambahkan sebuah nama. Kilal Anugrah. Karena, Kilal adalah Anugrah yang Tuhan titipkan untukku

Gumintang

cepen oleh: Thera Febrika Nur Fajri

Gumintang berjalan terengah-engah sambil memegangi perutnya. Mulutnya berlumuran cairan merah pekat yang terus mengalir. Ini semua diluar rencananya. Ia tidak tahu, bagian mana yang ia lewati hingga ia bisa tertangkap saat tangannya mencongkel perlahan jendela rumah Pak Kosim, si kaya itu. ”Sial!” batinnya. Tidak dapat harta malah dapat siksa. Gumintang mengerutkan alisnya, dan menggigit bibir bawahnya menahan perih yang tak terkira akibat pukulan warga. Tidak tahu berapa buah kayu yang mereka daratkan ke tubuhnya. Gumintang berfikir keras, bagaimana caranya agar rencana keduanya akan berhasil. Pak Kosim. Selain memiliki harta yang melimpah, Pak Kosim juga memiliki seorang anak gadis yang amat rupawan. Setiap lelaki pasti akan mengeras melihatnya, termasuk Gumintang, pria setengah abad yang sebentar lagi akan mati, yang sudah sepuluh tahun sendiri. Setelah membersihkan semua rasa perih dan nyeri hebat itu, ia duduk dipinggiran tempat tidur tak beralas, lalu kembali memutar otaknya. Gumintang tak tahu lagi harus bagaimana agar manusia-manusia itu tak mengetahui renacana bejatnya, bisa mati ia bila kembali tertangkap. Pasti manusia-manusia itu sudah mengincarnya, sudah menjaga ketat rumah Pak Kosim. Seandainya di desa ini bukan hanya Pak Kosim yang kaya raya dan memiliki anak gadis yang tupawan, pasti Gumintang tidak akan gentar mendilik rumah pak Kosim. Di desa ini, hanya Pak Kosimlah yang kaya raya. Ia adalah juragan singkong. Ditengah rincunya fikirannya, tiba-tiba Gumintang merasa ada susuatu hal bodoh yang selama ini tak pernah ia rasakan. Yaitu rasa kesepian yang teramat. Sepuluh tahun lalu, ia masih memiliki anak gadis berusia tujuh belas tahun yang amat lucu, Ratna namnaya. Kepang duanya sangat cantik, secantik senyumannya. Persis seperti ibunya. Cantik. Ah, tapi itu dulu. Sekarang Ratna dan ibunya tak tahu kemana. Mereka pergi karena melihat Gumintang, pekerjaan dan hidunya. Gumintang sudah tiga kali masuk penjara, namun sudah tiga kali pula ia melarikan diri. Hidupnya kini sudah tidak tenang. Namun impiannya untuk kaya tak bisa ia kendalikan. Iapun bingung, kelak bila ia sudah kaya, hendak kemana ia pergi untuk menkmati kekayaannya..
”Kriuk,” sebuah suara tidak mengenakan terdengar numpang lewat, mengalaarmkan bahwa perutnya tidak sanggup lagi menahan rasa lapar yang tak kunjung di sembuhkan. Gumintang menoleh kekiri kanan, mencari-cari apa yang bisa ia makan. Tidak ada apa-apa. Disini hanya ada satu dipan untuk tidur, satu kursi dan satu meja kayu rapuh. Gumintang mendapatkan ini semuapun adalah suatu keberuntungan. Tak ada yang tahu, bahwa penunggu sepetak rumah ini adalah seorang Gumintang, yang pencariannya hampir sama dengan pencarian teroris. Gumintang berusaha melupakan semuanya, keluarganya dan laparnya. Gumintang harus bersabar hingga malam tiba, karena ia akan mendapatkan uang banyak nanti malam. Ia yakin.
Gumintang merogoh kantong celananya. Ada sebuah logam kecil. Limaratus, hanya itu yang ia temukan. Uang ini pasti uang pemilik asli celana ini. Saat Gumintang memalingnya dari jemuran, ia tidak sempat merogoh kantongnya dulu. ”Lumayan, kebetulan saya lapar”
Gumintang mengenakan topi bau yang ia temukan di got, rambut gondrongnya ia gulung dan dimasukan kedalam topi itu. Ia menunduk sambil menatap lurus ke tanah. Semoga tidak ada manusia yang menyireninya. Gumintang mengendap keluar rumah, menuju sebuah warung yang tak jauh dari rumahnya. Tidak ada siapa-siapa, hanya ada dua ibu-ibu, satu penjual, dan satu lagi pembeli. Mereka terlihat akrab tertawa seperti tidak memikirkan suami mereka yang mungkin saja sedang membanting peluh untuk menghidupi keluarga. Gumintang mengambil sebuah roti kecil, merogoh kantongnya, lalu...
”...katanya sih namanya Gum...Gum... ah, saya lupa siapa namanya,”tiba-tiba ibu pembeli meneruskan pembicaraannya. Gumintang tersadar bahwa yang sedang mereka bicarakan adalah dirinya. Gumintang berhenti merogoh kantongnya, ia ingin mendengarkan apa saja yang ibu-ibu itu tahu tentang dirinya. Seberapa jauhkah ia terkenal?
”sudah tiga kali bolak-balik keluar masuk penjara belum jera juga! Terbuat apa hatinya itu...” si penjual ikut berpartisipasi, sekarang giliran si pembli mengangguk-angguk.
”Maaf bu, seperti apa Gumintang itu?” Ucap Gumintang. Ia ingin tahu, apa manusia-manusia yang membencinya itu tahu bahwa manusia dihadapan mereka itulah Gumintang, si maling yang melebihi seorang selebritis.
”Hm, katanya dia itu hitam, bungkuk dan...” ibu pembeli menjawab dengan santai, ”salah.”bathin Gumintang bersorak.
”Dia memiliki bekas baretan besar dikepalanya, dan rambutnya panjang.”
”benar! Untung saja aku mengenakan topi. Bisa pingsan kalian kalau aku melepaskan topiku.” bathin Gumintang lagi. Ia seperti seorang presenter kuis di televisi. Gumintang meletakkan uang lima ratusan untuk membeli roti yang ada di tangannya, lalu pergi begitusaja. Terlihat kekecewaan yang teramat dari kedua wajah ibu penjual dan pembeli itu, karena Gumintang tidak mengucapkan terimakasih atas informasi yang telah ia lontarkan atau hanya sebuah kata permisi untuk mengakhiri pertemuan. Dasar manusia-manusia Indonesia, sangat sopan.
Gumintang berjalan sambil melahap roti itu, sekali habis. Hanya bisa mengisi secuil bagian perutnya yang saat itu sedang sangat lapar. ”Sabar, apabila aku sudah kaya, akan ku isi kau dengan makanan-makanan yang enak” ucapnya sambil meraba perut keroncongannya.
Sebelum masuk rumahnya, Gumintang mendapatkan keramaian. Katanya Bu Siti, tetangganya tiba-tiba saja jatuh pingsan, lalu mati. Ia seorang diri, anaknya tidak ada, apalagi suaminya yang telah mati lama. Bi Siti tinggal sendiri sepertinya.Tidak ada yang mau menguburkan Bu Siti, karena Bu Siti dikabarkan mati tidak wajar, kena santet atau apalah itu. Gumintang mendekatkan diri pada mayat Bu Siti yuang mati meringkuk. Gumintang mengangkat tubuh Bu Siti, menugaskan sebagian ibu-ibu untuk membersihkan tubuh Bu Siti, sementara ia menggali lubang kubur. Gumintang tidak ingin nasib ibunya dulu mendera bu Siti. Ibu Gumintang adalah seorang jahat seperti dirinya, ia adalah seorang perempuan liar yang mau pada siapa saja, asal orang itu ada uang, orang-orang sangat membenci ibu Gumintang, namun ibu Gumintang sangat baik pada dirinya dan pada saat itu masih terlalu kecil untuk Gumintang mengerti mengapa manusia yang lain sangat membenci ibunya. Hingga akhirnya ibu Gumintang ditemukan mati diantara pohon-pohon singkong, telanjang bulat. Tak ada orang yang menaruh kasihan padanya. Mayatnya dibiarkan tiga hari disana, Gumintang menangis, sambil memeluk ibunya, hingga bau menyergap ibunya, ia bergerak. Gumintang memanggil semua orang, siapa saja dia, asal bisa menguburkan ibu. Akhirnya ada seorang bapak yang luluh, kasihan pada Gumintang kecil. Akhirnya, hiduplah Gumintang seorang diri, hidup liar dan tidak terkendali setelah obunya dikuburkan. Tidak ada yang mau merawatnya, karena keadaan ekonomi keluarga desanya tidak baik.
Gumintang menepuk-nepuk kedua telapak tangannya membersihkan tanah-tanah yang mengotorinya. Bu Siti telah ia semayamkan, beres sudah. Untung saja, ia selalu bekerja pada malam hari, jadi hingga kini, tak ada sorangpun yang mengenalinya.
Gumintang berjalan pulang, tak ada seorangpun yang mengucapkan terimakasih padanya, karena memang tidak ada yang perduli. Ternyata aku masih memiliki hati. Bathin Gumintang sambil berjalan masuk kerumahnya, lalu tertidur hingga malam tiba.
***
Akhirnya saat yang dinantipun tiba. Hari sudah gelap, sudah menunjukan angka 2malam. Tepat sekali, susana mendung akan membantunya. Saat seperti ini pasti manusia akan terlelap tidur.
Gumintang memanjat dinding tinggi yang berada dibelakang rumah Pak Kosim, tinggi, namun itu perkara mudah bagi Gumintang. Setelah itu Gumintang mencongkel pintu belakang rumah Pak Kosim dengan perlahan, perlahan sekali hingga... terbuka. ”kali ini tidak boleh gagal” pekik Gumintang dalam hati.
Gumintang sudah memasuki bagian belakang rumah besar ini, ia mendapati sebuah kamar yang pintunya sedikit terbuka, ”ah, pasti itu kamar pembantunya” bisik Gumintang. Gumintang berfikir sejenak. Dia sangat menginginkan tubuh anak gadis si kaya ini, tapi tak ada rotan, akarpun jadi. Dia mengeluarkan obat bius andalannya untuk membius. Gunibtang memilih pembantu Pak Kosim untuk ia nikmati. Sudah lama kebutun biologisnya tidak terpenuhi, dan inilah saatnya. Tak mendapati anak Pak Kosim, pembantunya pun sudah cukup Gumintang masuk perlahan.
”Wanita muda yang malang dan cantik” ucap Gumintang lembut. Gumintang menyemprotkan cairan pembius itu sedikit, lalu mendekap mulut wanita itu. Sempat terdengar sedikit pekikan, namun itu tak lama. Gumintang mulai bermain, hingga puas.
Gumintang turun dan merapikan kembali pakaiannya setelah selesai, ia tidak boleh berlama-lama, karena sebentar lagi pagi dan ia harus melancarkan rencana selanjutnya lagi. Saat membereskan pakaian, seketika Gumintang tersentak kaget, kakinya lemas. Meja samping tempat tidur wanita itu ada sebuah foto. Foto itu sangan ia kenal. Foto seorang wanita dan pria yang sedang menggandeng anak gadis kecil berkepang dua. Wanita itu adalah Asih, istrinya, berarti.... ini ..... Ratna....
Gumintang gemetar. Dia sudah menghancurkan hidup anaknya sendiri. Ternyata anaknya bekerja sebagai pembantu dirumah pak Kosim selama ini. Gumintang lemas, keluar dengan lunglai dan menangis. Semua rencana ia urungkan. Tega sekali ia telah menodai anak gadisnya sendiri.
***
”Masuk!” Bentak seorang pria berseragam polisi menendang Gumintang. Ini adalah pilihan Gumintang. Mimpinya untuk menjadi kaya telah sirna. Impiannya saat ini adalah ingin menebus kesalahannya pada Ratna, anak tersayangnya.
”Maafkan Bapak, Nak.” ucap Gumintang lirih dan tertunduk.

Senin, 01 Juni 2009

Emak

EmaK…
cerpen oleh: Thera ebrika Nur Fajri

Butiran air yang menetes tak kuasa ku tahan manakala teringat semua tentang emak dirumah yang saat ini tepat berada di hadapanku. Dadaku sesak, tanganku berkeringat dan kakiku gemetar mengingat semua itu. Kenangan pahit itu ku lalui tiga tahun yang lalu… Saat kepekatan membutakanku menderaku.
***
Suara dehaman emak sudah sangat biasa terdengar. Suaranya sudah sangat menakjubkan manakala dihiasi dengan nafas perempuan tua tak bersuami yang sepanjang hidupnya hanya bisa berbaring. Semua orang tahu, dimana-mana orang tualah yang membanting tulang dan menyebarkan peluh untuk anaknya. Tapi mengapa aku tak mendapatkan itu semua pada kehidupanku? Disatu sisi, aku ingin menjalani hidup tanpa harus memikirkan ‘bagaimana cara menebus obat Emak’ tapi disatu sisi aku tak ingin emak mati, karena bagaimanapun emak adalah orang tua kandungku yang tersisa sejak buyah* meninggal. Sejak emak sakit, aku tak lagi bisa menghirup segarnya pagi, merasakan sesaknya polusi dan menikmati cerahnya matahari. Yang aku lihat hanyalah purnama yang tak becahaya dan santapan yang tak beraroma. Membuatku buta akan segalanya….
Sudah limabelas tahun emak seperti ini. Terbaring lemah karena infeksi paru-parunya yang semakin gentar bertualang memburu tubuh renta emak. Usiaku yang telah meduduki kepala tiga membuatku khawatir akan segalanya. Emak dan masa depanku. Karena emak, aku tidak meneruskan sekolah dari sekolah menengah pertama, aku harus bekerja untuk membeli obat emak. Karena emak pula aku tidak sempat memikirkan mencari pendamping hidupku. Yah, termasuk masa mudaku yang hanya dapat kusaksikan seperti babaranjang yang melintas, satu.. satu.. lalu kemudian… habis.
“ Litha… Uhuk… Uhuk… “ emak memanggilku. Tanpa dikomandoi lagi, dengan sigap aku menyuapi sendok demi sendok teh pahit kesukaan emak. Aku sudah hafal betul apa saja yang emak suka dan inginkan atau tidak. Bagaimana tidak fasih begitu, bertahun-tahun aku mengurusi emak, dari makan, tidur, sampai buang air, aku, aku dan aku. “ Apakah peluh yang aku keluarkan untuk tetap mengabdi kepadanya hingga aku menderita, belum cukup untuk menggantikan peluh yang Emak keluarkan untukku? “ aku tak kuasa menahan untuk tidak mendengus kesal.
“ Litha..” rengkuh emak dengan suara yang berfibrasi aneh ala orang tua semakin membuatku bosan.
“ Sabar, Mak!” Bentakku kesal. Pasti Emak lapar. “ Sial, ada saja yang ia minta. Tidakkah dia berifikir bahwa aku juga butuh istirahat? “ gerutuku dengan suara pelan. Emak menunduk lalu terdiam. Aku berharap emak sudah pikun sehingga tidak mendengar lagi bentakan dan gerutuanku. “ Kalau aku dikutuk, bisa mati aku! “ bathinku konyol….
***
Aku yang tak memiliki kemampuan dan keterampilan apapun tidak menolak saat Hanif, teman kecilku dulu menawariku pekerjaan di tempat usaha yang sukses ia kembangkan. Dengan bermodalkan suara yang tak bermateri, aku bernyanyi, berharap aku dapat terus menyambung hidup serta menyembuhkan emak agar ia tak lagi menyusahkanku.
Aku berjalan lunglai, jam yang tertempel di warung yang setiap malam sepulang kerja ku lewati sudah menunjukan angka satu lewat tima belas menit. Sepatu kulit berhak tinggi yang sudah lusinan kali dilem aku jinjing karena haknya kembali patah.
“ Tante… Godain kita doooong! “ sekelompok anak muda yang sudah pantas aku panggil, “ Nak,” apabila aku menikah dikepala dua umurku berusaha menggodaku. Aku tak menghiraukan mereka.
Aku melempar sepatuku kebawah kolong meja kayu rapuh yang apabila ia bisa bicara ia akan menjerit minta pensiun dan dicarikan penggantinya, karena meja itu sudah turun temurun dari nenek, emaknya emak.
“ Uhuk… Uhuk… “ telingaku sudah sangat bosan mendengar itu semua. Obat yang selama ini aku beli dengan susah payah, ternyata tidak membuahkan hasil. Perasaanku tak menentu saat mendengar batuk dan tingkah emak yang semakin melayu. Aku merasa seperti mengurusi bayi tua yang hanya bisa merengek. Ada perasaan kasihan, tak tega dan tak berdaya. Namun tak jarang juga perasaan jahat menempel di hatiku, “ Tuhan, untuk apa lagi Emak dititipkan nyawa apabila hanya untuk menyiksanya dan menyiksa aku? “ Sekilas aku teringat tentang pikiran konyolku untuk pergi kota untuk mengadu nasib menjadi lebih baik di kota orang yang sebelumnya tidak aku kenal. Memang aku belum tahu apa yang akan aku lakukan kelak disana. Tapi, minimal aku dapat terbebas dari cekikan dan tuntutan untuk mengurusi emak. Aku rasa, aku sudah sangat berbakti padanya selama ini. Dan aku rasa, jasanya sudah lunasku bayar dengan semua pengabdianku.
Aku bangkit dari pembaringanku, lalu memasukan beberapa helai baju andalanku bernyanyi, alat-alat kosmetik dan keperluanku yang lain. Tekadku sudah sangat bulat. Gajiku bulan ini sudah aku pakai beli obat emak.
Tapi, aku tidak akan berlari begitu saja. Aku menitipkan emak kepada bu Marjinah tetanggaku yang selalu menjaga emak saat aku bekerja. Dia sangat baik, aku percaya bahwa dia akan menjaga emak dengan baik selama aku pergi.
“ Bu, aku titip Emak, aku janji saat tugasku sudah selesai aku akan kembali, “ pesanku pada bu Marjinah. Bu Marjinah mengangguk. Sebelum pergi, aku mengintip emak yang tidak sadar karna tidur yang melelapkannya, bahwa sebentar lagi anaknya akan pergi meninggalkannya dan akan mencari kebahagiaannya.
Aku mengangkat tasku yang berisi berpotong-potong baju, berjalan pelan. Sesekali aku memalingkan wajahku kerumah tua yang beberapa menit kemudian tidak akan aku lihat lagi. “ Emak, maafkan aku… Aku yakin Emak merestui aku untuk mencari hidup yang lebih baik… Emak, aku akan kembali dengan membawa kebahagiaan… dan aku akan membaginya pada Emak. “
***
Emak… Tiga tahun sudah aku meninggalkanmu. Apa kabar, Mak? Mak, aku sekarang sudah memiliki keluarga. Aku sudah memiliki suami, dan… sebentar lagi aku akan memiliki anak dan aku akan menjadi seoang ‘EMAK’ seperti Emak. Emak, aku sekarang sudah mendapatkan kebahagiaan. Emak sehat? Mak, aku sangat merindukan Emak… Aku sangat durhaka padamu, Mak. Durhakaku sudah melebihi Malin Kundang yang dikutuk Emaknya menjadi batu. Mak… Nanti saat aku sudah menjadi seorang Emak, aku akan kembali… Mak…
“ Aaaaauuu… To…Toloooong… “ belum selesai aku mengakhiri tulisan buku harian yang hampir tiap hari aku tulis untuk menebus kerinduanku pada emak, perutku sudah didera sakit yang teramat sakit. Kencang, dan amat sakit. Aku memejamkan mataku, aku menarik nafas sepanjang mungkin, berusaha mengurangi rasa sakit… Aku berusaha bangkit dari dudukku, tapi tidak dapat, dan…
“ Bukkk… “ tubuhku terjatuh karena sakit yang terus mendera perut buncitku. Tiba-tiba, dari selangkanganku mengucur ketuban yang menandakan bahwa sebentar lagi aku akan segera menjadi seorang emak.
“ Aaaaaaauuu… Sakiiiiiit…. “ aku meremas perutku menahan sakit.
“ Litha… Kau kenapa? “ suamiku datang. Aku sangat bersyukur ia datang. Aku digapahnya ke mobil. Sepertinya dia sudah tahu bahwa aku akan melahirkan. Suamiku sangat baik, usianya lima tahun dibawahku. Saat aku kebingungan apa yang akan ku lakukan di kota, dia yang menolongku.
“ Aaaaaau…. “ aku kembali menjerit, suamiku sangat panik.
“ Mak, apakah kau dulu mengalami sakit yang luar biasa seperti yang sedang aku derita ini? “ bisikku dalam hati. Eranganku tak dapat menyembuhkan sakit. Anak didalam kandunganku seakan sudah tidak sabar ingin segera melihat dunia.
Sesampainya dirumah sakit, aku digiring kesebuah ruangan dengan menggunakan brankar, di ruangan itu ada beberapa orang dengan pakaian putih lengkap dengan penutup mulut dan sarung tangan.
“ Aduuuuuuh…. “ seketika aku tidak peduli dengan semua yang aku lihat. Aku benar-benar ingin mengakhiri ini semua. Aku mulai berusaha melahirkan anakku. Dokter membimbingku. Sekuat tenaga aku mengejan. Ribuan peluh yang tidak terhitung mengalir di setiap pori tubuhku. Nafasku saling berburu untuk mendapatkan udara. Anakku sepertinya bandel, kepalanya saja belum nampak. Sakit diperutku bertamah hebat.
“ Emaaaaaaaakkkk….!!!! “
“ Oeee… Oeee…Oeee… “ suara mungil memecah keheningan. Suamiku mencium keningku, seolah-olah memberiku medali emas akan perjuanganku barusan. Tatapan mataku remang…
“ Perempuan… Cantik sepertimu… “ bisiknya ditelinga kananku.
Aku tersenyum diantara ketidak sadaranku. “ Semoga kau tidak tumbuh durhaka seprti ibu, Nak… “ bisikku…
Aku sangat kaget mendapati aku sendiri… Aku sendiri di ruangan gelap ini. Oh… Apakah aku sudah mati. Ya Tuhan… Ternyata aku sudah sangat bodoh berkata bahwa aku sudah lunas membayar jasa emak. Beginilah rasanya menjadi seorang emak Berusaha diantara hidup dan mati untuk melahirkan anaknya. Tak perduli apa yang akan terjadi kelak pada dirinya.
***
“ Litha… “ aku memalingkan wajahku kearahnya. Aku mendapati ibu tua berlilitkan kain dikepalanya.
“ Bu Marjinah… “ tak perduli, telapak tangannya yang kotor langsung ku ciumi. Bu Marjinah melepasnya dengan paksa. “ Ibu… Mana Emak? “ aku bertanya. Aku hanya bisa bertanya kepadanya, karena kepadanya aku menitpkan emak.
“ Kau telah membuang Emakmu sendiri! Dasar anak durhaka! “ bentak Bu Marjinah dengan suara bergetar. Ia membelakangiku, seolah ia malas menatap wajahku. Air mataku menetes…
“ Kemana saja Kau? “ Tanya Bu Marjinah sinis.
“ A… Aku bekerja ” Jawabku terbata-bata.
“ Bekrja? Tidakkah kau dapat pulang, hanya sekedar untuk menengok Emakmu? “ Bu Marjinah kembali bertanya dengan nada suara sama.
“ A… Aku… “
“ Emakmu meninggal setengah tahun yang lalu…! Tidak pernah absen mulutnya memanggilmu. Kering air matanya menangisimu. Hingga Ia akan menghembusnya yang terakhir Ia memanggilmu sambil berkata… “ Bu Marjinah menghentikan ceritanya, menarik nafas, sambil menghapus air matanya,
“ Litha… kembalilah, Nak… “
“ Emaaaaaaakkk!!! “ aku menjerit sekuat tenaga. “ Emak… Maafkan Litha… Maaaaak… Maafkan Litha…. “ aku menangis. Dengkulku lemas.Aku jatuh tersungkur ke tanah. “ Emaaaaaak… Ini Litha Maaaaaaak…!!! Ini Litha sudah kembali… “ telapak tanganku menggenggam tanah kering yang mendebu.
“ Percuma kau menangis. Emakmu tidak akan pernah kembali. Apa kamu tahu, Saat kau dalam kandungan, kau lahir, hingga ia mati… Dia sangat menyayangimu… “ Ucap Marjinah meninggalkanku berdua dengan penyesalan yang perlahan kelak akan membunuhku.
= S E L E S A I =

Ayo Berbisnis