Rabu, 19 Januari 2011

Rumah Siput


Rusmini memegang erat pergelangan tangan kiri anaknya. Anak lelaki berambut tipis itu terus mengikuti kemanapun Rusmini melangkah. Tak pernah ia mengeluh, atau bertanya hendak dibawa kemana ia dengan ibunya.
“ Ingat Satria, jangan sekali-kali melepaskan tangan ibu!” Peringat Rusmini untuk kesekian kalinya. Bocah 6 tahun itu hanya bisa mengangguk. Rusmini sangat tau, arti dari anggukan anaknya itu, “Ibu, hendak kemana lagi kita?”
Sudah satu jam mereka mengikuti alur troatoar di kota yang baru mereka datangi. Kota yang berbeda dari sebelumnya, bahkan kota ini lebih jauh dari kota sebelumnya, karena di pisahkan oleh hamparan lautan yang luas. Yah, Rusmini saat ini menginjakkan kakinya di Sumatra.
“Ini di mana ibu?” ucap Satria untuk pertama kali di kota barunya itu.
“Lampung.” Jawab Rusmini seadanya. Satria mengangguk-anggukan kepalanya lagi, “tadi kita naik kapal kan, Bu? Kenapa kita tidak pindah juga?”

“Kemarin kita di Bandung, sekarang kita di Lampung. Berbeda.” Rusmini menjelaskan. Walaupun ia tahu, Satria belum cukup mengerti yang ia jelaskan. Ia juga belum saatnya mengerti apa yang ia dan ibunya kini hadapi. Ujang, suaminya meninggal bunuh diri saat bekerja menjadi TKI di Arab. Hati Rusmini yang saat itu sedang mengandung Satria yang baru saja genap minggu ke delapan sangat hancur mendengar berita itu. Bukan hanya karena Ujang, suaminya telah tiada, tapi juga Ujang meninggalkan hutang kepada lintah darat yang setiap bulan berbunga. Saat Ujang meninggal, hutang Ujang sudah berkembang dari limaratus ribu, menjadi lima juta rupiah. Nominal yang sangat sulit dicapai baginya. Saat itu Rusmini sangat putus asa. Ia tidak memiliki kemampuan apa-apa. Pekerjaan sehari-harinya sebagai penjual makanan jajanan anak sekolah dasar tidak mungkin cukup untuk melunasi itu semua. Hingga kini, Satria sudah berusia 5 tahun dan hutang almarhum suaminya yang sudah tak terhingga banyaknya lagi. Rusmini lebih memilih menghindari penagih hutang yang mengancam akan membunuhnya dan Satria dibanding mencari uang untuk membayar tumpukan hutang itu.
“Ibu,” panggil Satria, Rusmini tidak menjawab, bukan karena ia tidak memperdulikan anak semata wayangnya itu lebih tepatnya ia malu menjawab pertanyaan-pertanyaan ketidak mengertian Satria. “Ibu,” satria kembali memanggil ibunya.
“Satria, diam!” bentak Rusmini. Anaknya terdiam, ia terus berjalan. Uang di sakunya sudah tidak cukup lagi untuk membayar angkutan umum yang lalu lalang tak terhingga setelah naik kapal laut dan bus menuju pusat kota yang memakan biaya tidak sedikit.
“Lapar...” lirih anaknya, kali ini sebelah tangannya terus memegangi perutnya. Rusmini tertegun dan menghentikan langkahnya. Ia berlutut menyetarakan pandangan kepada anaknya.
“Ma.. maaf, jangan pukul. Satria mengaku salah.” Satria menunduk dan menangis, ia selalu takut dengan tangan Rusmini yang terkadang kasar. Rusmini memeluk Satria erat.
“Sabar, Nak. Sebentar lagi, kita akan menemukan rumah siput kita. Kau akan beristirahat dan akan Ibu belikan makanan.” Rusmini berkata pelan sambil mengusap air mata dan peluh yang membanjiri mata dan kening Satria. Satria mengangguk. Sejak usia Satria semakin bertambah, saat ia mulai bertanya apa yang mereka lakukan selalu berpindah-pindah tempat tinggal, Rusmini menjawab bahwa rumah mereka adalah rumah siput. Karena mereka selalu membawa pergi kemanapun rumah mereka, seperti siput. “dimanapun kita, di sanalah rumah kita...” kalimat itu adalah jawaban dari setiap pertanyaan Satria tentang kehidupannya.
***
Satria melahap nasi dan tempe bawaan Rusmini. Kini sisa uang Rusmini tidak cukup untuk mencari tempat tinggal, karena harga yang di tawarkan di kota ini tinggi.
“Ibfuu..humah siput kita... huffhmm...” satria berkata di sela mulut penuhnya. Rusmini memberi minum anaknya. Setelah tak ada lagi makanan di dalam mulutnya, Satria mengulang perkataanya. “Ibu, apa rumah siput kita tidak ada?” tanya Satria.
“Ada. Ini lah rumah siput kita, Nak.”
Satria melihat sekeliling. Kini ia dan Rusmini sedang berteduh di sebuah halte tidak terpakai. Satria tampak bingung, “mana?”
Rusmini mengecup kening putranya, dengan hati hancur ia berbisik, “langit adalah atapnya, sayang. Inilah rumah siput kita. Tidak terlihat namun sangat nyata...”
Satria mengangguk. Anggukan kebingungan tentu saja. Satria sangat tahu, inilah jalan terbaik yang ibunya berikan. Ia meneruskan makanannya, dan menyisakan separuh nasinya dan memberikannya ke Rusmini.
“Ibu, ini untuk ibu. Separuh tempenya juga. Satria sudah kenyang.” Satria menguap dan mengusap matanya yang sudah menyipit karena mengantuk.
“Ibu, makan nasinya. Satria mau bobok.”
Rusmini menghabiskan nasinya, dan memeluk Satria hingga ia terlelap tertidur Pelukan Rusmini adalah tempat tidur ternyaman bagi Satria.
***
Rusmini menggendong tubuh anak lelakinya yang kini sudah beranjak dewasa itu kian kemari. Ia harus segera mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dari warung kecil hingga toko besar ia menawarkan jasanya. Hingga matahari hampir terbenam ia tidak kunjung mendapatkan pekerjaan. Perut Satria mulai meminta untuk kembali diisi, namun apa daya Rusmini sudah tidak lagi memegang uang.
“Ibu, lapar.” Keluh Satria. Rusmini mendekap Satria. Ia ingin anaknya mendapatkan kenyamanan. Ia tidak ingin menjawab agar anaknya tidak merasakan kegundahan dan rasa bersalah seperti yang ia rasakan saat ini. Berulang kali ia mengutuk almarhum suamimanya yang begitu saja lari dengan cara yang sungguh tak bertanggung jawab.
“Nak,” Rusmini menengadahkan kepalanya mendengar panggilan pelan. Terlihat sesosok wanita paruh baya membangunkannya. Rusmini berusaha berdiri sambil tetap memopoh anaknya.
“Maaf Bu, saya dan anak saya hanya ingin beristirahat sebentar di beranda rumah ibu..” Ucap Rusmini bergetar. Ibu itu tersenyum hangat, hati Rusmini sangat tenang melihatnya.
“Mari masuk, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Kasihan anakmu,”
Rusmini masuk ke sebuah rumah sederhana, bentuk dan perabotan rumahnya sangat sederhana, namun sangat hangat. Rusmini di suguhkan segelas teh dan segelas susu hangat untuk Satria. Satria meneguknya hingga habis.
“Rumah kalian dimana? Mengapa malam-malam begini tidak segera pulang?” tanya ibu itu. Rusmini terdiam.
“Satria dan Ibu punya rumah, tapi rumah siput,” celetuk Satria. Ibu itu tampak tidak mengerti. Rusmini mulai menceritakan semuanya bahwa mereka berasal dari sebuah kota di Jawa Timur. Setiap ada sedikit uang, mereka berpindah-pindah ke satu tempat ke tempat lainnya guna menghindari penagih hutang itu.
“Malang sekali nasibmu, Nak,” usap pelan wanita itu. Rusmini menunduk. Ibu itu juga menceritakan hidupnya, suaminya menikah lagi dengan wanita kaya dan meninggalkannya seorang diri tanpa seorang anak. Ia hidup dengan harta warisan orang tuanya, dan membuka warung sederhana di pinggir jalan tak jauh dari rumahnya.
Seiring berjalannya waktu, Ibu itu begitu percaya dengan Rusmini. Rusmini seperti menemukan keluarga baru dalam beberapa hari ini. Selama lima tahun hidup terkatung-katung, baru saat ini ia merasa begitu tenang dan nyaman. Dan untuk pertama kalinya ia merasa tidak takut oleh penagih hutang itu.
***
Dua bulan sudah Rusmini bersama Dijah, wanita yang membantunya malam itu. Ia begitu baik. Dengan wanita yang memiliki selisih 5 tahun dengannya ini, Rusmini dipekerjakan di warungnya, ia juga sangat menyayangi Satria karena ia tidak memiliki anak.
“Ibu Dijah memintaku untuk bersekolah, apa Ibu mengizinkan?” tanya Satria bersemangat. Rusmini tertegun. Penagih hutang itu memiliki banyak anak buah di berbagai kota, ia akan mengejar mereka kemanapun mereka pergi. Rusmini terdiam. Tidak menjawab pertanyaan Satria.
“Rusmini tolong antarkan soto ini ke pangkalan ojek di ujung jalan ya, ini miliknya Bang Togar,”
“Baik, Bu” Rusmini tersadar dari lamunannya dan tidak menjawab pertanyaan Satria. Ia mengangkat nampan berisikan semangkuk soto hangat itu. Sepanjang jalan ia terus memikirkan kebimbangannya. Apa yang akan ia lakukan, disini Satria sudah sangat nyaman dan bahagia. Ia tidak mungkin melenyapkan begitu saja kebahagiaan Satria. Di satu sisi lagi ia tidak mungkin tinggal disini. Sesampainya di pangkalan ojek itu, nampan tempat itu hampir saja terlepas dari genggamannya. Tubuh Rusmini bergetar, yang ia lihat ini sungguh nyata. Rusmini melihat orang yang selama ini ia hindari. “Tuhan, mengapa dengan mudah ia menemuiku. Aku harus bagaimana? Tidak mungkin lagi aku lari...” Lelaki kekar yang sedang duduk di pangkalan ojek itu bukan lah tukang ojek langganan Bu Dijah, namun dia Tejo, tangan kanan penagih hutang yang selama enam tahun ini ia hindari. Rusmini membanting nampan dan semangkuk soto yang ia bawa. Ia berlari sekuat tenaga, ia sungguh takut.
“Hei, Rusmini! Haha, akhirnya aku mendapatkan mu! Bayar hutang suamimu! Tidak akan aku melepaskanmu!” Seru lelaki itu. Rusmini tidak memperdulilakan semua. Sesampainya di warung, bu Dijah sangat bingung dengan yang terjadi, Rusmini memeluk bu Dijah erat, “Bu, tolong titip Satria. Sayangi ia, hanya Tuhan yang dapat membalas kebaikan Ibu. Saya.. saya...” belum selesai Rusmini berucap, terdengar teriakan kasar dari arah luar warung bu Dijah.
“Hei, Rusmini, bersembunyi dimana kau!”
Ruismini melepaskan pelukannya ke Bu Dijah, dan berpaling memeluk Satria yang sedang bermain di halaman belakang warung bu Dijah,
“Satria, Bu Dijah sekarang jadi ibu mu. Bu Dijah punya rumah yang sesungguhnya, bukan rumah siput lagi. Satria tidak akan pindah-pindah lagi. Satria harus jadi orang yang pintar, Ibu sayang Satria...” Rusmini melepaskan pelukannya, ia mengecup dalam kening Satria yang terlihat bingung. Rusmini berlari, karena Tejo tidak boleh tahu keberadaan Satria. Rusmini berlari keluar. Ini adalah jalan yang terbaik. Biarlah hidupnya yang terus di bungkus rasa takut, Satria tidak boleh tahu hal ini, ia tidak boleh ikut menikmati kesengsaraan warisan almarhum ayahnya. Rusmini meninggalkan Satria dengan deraian air mata, dan membawa lari semua penderitaan menjauh dari Satria.
Satria, suatu hari nanti kau akan mengerti. Mulai hari ini, Ibu akan mencari rumah siput Ibu sendiri. Maafkan Ibu, Nak. Ibu bukan meninggalkanmu, Ibu hanya membiarkanmu bahagia. Rusmini berlari, kembali berlari dan tidak mengerti kemana ia akan pergi. Kembali mencari rumah siput.

0 komentar:

Posting Komentar

Ayo Berbisnis